Wednesday, May 02, 2007

Refleksi May Day 1 Mei

Oleh M. Hadi Shubhan

Jangan Kurangi Hak Normatif Buruh
Nasib buruh kian merana. Proposisi itu bukan provokasi, tapi fakta yang sangat mudah diverifikasi. Contohnya, soal upah buruh, pada 1997, upah minimum buruh (di Surabaya) Rp 250 ribu, sementara gaji PNS terendah Rp 150 ribu. Itu berarti upah buruh hampir dua kali lipat gaji PNS.

Pada 2007, yang terjadi sebaliknya, upah minimum buruh Rp 763 ribu, sedangkan gaji PNS golongan terendah sudah mencapai Rp 1,2 juta. Jadi, sekarang gaji PNS terendah hampir dua kali upah minimum buruh.

Belum lagi makna upah dari segi upah riil yang diterima buruh. Pada 1997, upah minimum buruh mampu digunakan membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp 700 per kg pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2007 hanya mampu membeli 150 kg beras (dengan harga beras Rp 5.000 per kg pada tahun ini). Hal itu bermakna bahwa upah riil buruh terjun bebas berkurang lebih dari 50 persen.

Penderitaan buruh tersebut belum seberapa dibandingkan penderitaan rekan-rekan mereka yang terkena PHK dan yang masih menganggur. Buruh yang terkena PHK mengalami dua penderitaan, penderitaan karena banyak pesangon buruh yang tidak diberikan oleh pengusaha sebagaimana mestinya serta penderitaan karena sangat sulit memperoleh pekerjaan baru.

Di Bandung, mantan pekerja PT Dirgantara Indonesia yang di-PHK beberapa tahun lalu hanya mampu bekerja sebagai penjual es krim asongan, bahkan menjadi pemulung sampah. Padahal, dia lulusan sarjana nuklir dari universitas negeri terkemuka di republik ini (Kompas, 28/4/07). Sungguh tragis nasib buruh/pekerja di negeri ini.

Nasib buruh yang kian tidak menentu tersebut masih mendapatkan tekanan, baik dari pengusaha maupun penguasa republik ini. Belum lekang dalam ingatan kita, tahun lalu, pengusaha yang bermain mata dengan penguasa mencoba merevisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Mengurangi Hak Normatif

Epistemologi rencana revisi UU Ketenagakerjaan tersebut tidak lain adalah mengurangi hak-hak normatif buruh yang dianggap membebani perusahaan. Misalnya, hak pesangon, hak asuransi sosial, dan hak upah.

Pengusaha dan pemerintah berdalih bahwa kondisi investasi di Indonesia saat ini suram karena iklim hubungan industrial yang tidak kondusif. Padahal, berdasarkan studi World Bank, buruknya iklim investasi di Indonesia disebabkan banyaknya faktor. Faktor perburuhan hanya menempati peringkat ketujuh di antara sekian faktor yang ada.

Faktor-faktor lain penghambat investasi yang justru lebih determinan daripada soal perburuhan, antara lain, buruknya infrastruktur, sulit dan rumitnya perpajakan, birokrasi perizinan yang korup, serta ketidakpastian hukum.

Jadi, masalah perburuhan bukan faktor utama dan determinan dalam kaitan dengan investasi di negeri ini. Tapi, mengapa pemerintah justru membidik persoalan hubungan industrial tersebut untuk memperbaiki daya saing Indonesia? Bukankah masih ada hal yang utama dan determinan yang perlu ditata pemerintah. Lagi-lagi, buruh menjadi tumbal.

Untungnya, rencana revisi UU Ketenagakerjaan berhasil dibendung kalangan buruh dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran secara nasional. Namun, upaya pengusaha yang berselingkuh dengan penguasa untuk membuat regulasi baru yang merugikan buruh terus dilakukan.

Setelah gagal merevisi UU Ketenagakerjaan, kini pemerintah sedang menyiapkan beberapa peraturan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Misalnya, RPP tentang Ketenagakerjaan dan RPP tentang Pesangon.

Upaya pemerintah menata ulang hukum perburuhan dengan cara meregulasi melalui berbagai peraturan pemerintah tersebut merupakan upaya melakukan penyelundupan hukum di bidang perburuhan/ketenagakerjaan.

Upaya pemerintah dengan mengambil jalan belakang dalam menata ulang sistem hukum perburuhan tersebut merupakan strategi licin pemerintah setelah tidak punya nyali untuk merombak UU Ketenagakerjaan karena didemo besar-besaran oleh kalangan buruh pada pertengahan tahun lalu.

Dengan menata ulang peraturan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan tersebut, pemerintah tidak perlu lagi melibatkan DPR dan stakeholders yang lain serta bisa dilakukan secara tidak transparan.

Tidak Logis

Argumentasi pemerintah yang menyatakan bahwa law reform hukum perburuhan bisa dilakukan dengan menerbitkan peraturan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan karena UU tersebut belum secara detail mengatur hubungan industrial adalah argumentasi tidak logis.

Mengapa? Sebab, saya pernah meneliti peraturan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan. Ternyata, peraturan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan tersebut sudah sedemikian memadahi. Yakni, setidak-tidaknya ada 14 peraturan pemerintah, 5 keputusan presiden, dan 27 keputusan/peraturan menteri.

Belum lagi peraturan lain yang terkait dengan UU Ketenagakerjaan yang berjumlah 62 peraturan. Barangkali, UU Ketenagakerjaan tersebut merupakan UU yang paling banyak dan lengkap peraturan pelaksanaannya.

Sebenarnya, UU Ketenagakerjaan telah maksimal mengompromikan kepentingan pemerintah, pengusaha, serta buruh. Sejarah hukum perburuhan Indonesia telah mencatat bahwa UU Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku (yakni UU No 13/2003) adalah kompromi terbaik dari tiga kepentingan tersebut dibandingkan sebelumnya.

Penataan ulang kebijakan perburuhan akan sangat berpotensi menimbulkan penyelundupan-penyelundupan hukum untuk mengakali UU Ketenagakerjaan.

Jika upaya pemerintah menderegulasi bidang perburuhan tersebut berhasil, nasib buruh akan menjadi lebih buruk pada tahun-tahun mendatang. Republik yang katanya kaya raya dengan berbagai sumber kekayaan alam ini menjadi kuburan bagi warganya karena kelaparan tidak mampu makan akibat menganggur serta akibat bekerja, tapi dibayar tidak manusiawi.

Buruh yang mampu menghidupi keluarganya karena perusahaan telah mampu memberikan upah yang layak juga ikut terkubur akibat pabrik tempat kerjanya terendam banjir lumpur. Sungguh sebuah balada dari negeri yang salah urus.


Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN, anggota tim pengajar hukum perburuhan Fakultas Hukum Unair, (hadi_unair@yahoo.com)

No comments: