Wednesday, May 02, 2007

”May Day”, Revitalisasi Si Kerah Biru

Oleh STEVANUS SUBAGIJO

DEMO buruh menentang revisi UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 beberapa tahun lalu, hanyalah 'solvatara' nasib buruh yang tak bisa ditahan lagi. Jauh sebelum demo buruh, dunia usaha juga melakukan ”silent demonstration” lewat sistem hubungan kerja yang represif. Anarki buruh sebaiknya tidak serta-merta dilihat sebagai kriminalisasi.

Marsinah adalah contoh kepundan perburuhan yang meledak. Peraturan perburuhan dan kondisi riil buruh tanpa tanggung jawab pemerintah dan pengusaha dalam derajat tertentu akan menjadi tumbal. Ia membunuh perlahan-lahan di balik legalisme undang-undang. Soft crime mesti dihentikan dengan membuat tatanan baru dalam hubungan buruh-pengusaha yang tidak memelihara dikotomi buruh versus pengusaha dengan kepentingannya masing-masing yang sulit bertemu. Yang diperlukan ialah mengubah dari "lawan sekerja", pun "serikat pekerja" menjadi kawan sekerja.

May Day yang berakar pada perayaan mitos rakyat Eropa menandai datangnya first spring planting. Sebagai perayaan modern May Day berkembang di Amerika Serikat dan Kanada di mana tanggal 1 Mei 1886 menjadi tonggak perjuangan pekerja yang memperjuangkan 'delapan jam kerja sehari' (eight hour day). Kini dunia memperingati May Day secara luas sebagai hari buruh. Jika May Day di Indonesia diperingati dengan mogok dan demo besar-besaran menentang revisi UU Ketenagakerjaan beberapa waktu lalu yang menjadi pertanyaan apakah fenomena ini akan disikapi dengan positif atau akan menambah panjang perseteruan buruh-pengusaha (white collar versus blue collar)

Dunia usaha baru

May Day jangan dipolitisasi hanya masalah revisi UU Ketenagakerjaan belaka. Peraturan perburuhan hanyalah teknis kecil dari perlunya reformasi pandangan buruh terhadap pengusaha dan sebaliknya. Dan pandangan keduanya terhadap dunia usaha baru. Tanpa kerangka dasar ini perubahan UU Ketenagakerjaan akan selalu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan. Dan resistensi buruh ataupun pengusaha akan selalu mencari celah mengakali peraturan tersebut demi maksimalisasi kepentingannya.

Mengapa gerakan buruh di negara-negara maju lebih stabil salah satunya adanya kerangka pandangan yang sama tentang dunia usaha. Baik buruh atau pengusaha melihat perusahaan sebagai unit kerja bersama yang memberikan hak dan kewajibannya secara adil. Tidak peduli bahwa saham perusahaan itu milik pengusaha seratus persen dan tidak peduli pula bahwa mayoritas buruh berada dalam struktur piramida perusahaan yang paling bawah, nasib buruh tidak harus identik dengan posisinya yang paling bawah itu. Yakni miskin, tertindas, tak punya hak bicara-berserikat dan hanya berhak atas remah-remah kemakmuran pengusaha.

Bahkan di negeri kapitalis seperti Inggris Raya, Tony Blair sebagai perdana menteri berasal dari Partai Buruh. Ini menunjukkan bahwa gerakan buruh bukan monopoli milik buruh tetapi juga menjadi advokasi masyarakat luas bahkan termasuk para pengusaha sendiri. Di Polandia kita mengenal Lech Walesa yang mengenalkan Solidarsnoch, sebagai penyadaran akan gerakan kaum buruh. Gerakan buruh memang bukan untuk buruh sendiri tetapi juga menjadi bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Dengan demikian setiap meletus demonstrasi buruh di Indonesia kita latah selalu saja memphadapkan antara kepentingan pengusaha dan buruh di satu sisi dan pemerintah di tengah-tengahnya. Padahal gerakan buruh sejatinya juga menjadi dambaan pengusaha. Buruh yang makmur dan mendapatkan hak-haknya, pastilah membanggakan perusahaan dan pengusaha. Sebaliknya kemajuan pengusaha juga menjadi dambaan buruh sebagai laskar kerja yang menggerakkan cita-cita itu tercapai. Gerakan buruh dengan begitu harus dilihat sebagai penetrasi buruh atas rekayasa sosial yang diidamkan masyarakat atau negara (welfare state).

Kembali pada perlunya sudut pandang baru buruh-pengusaha, langkah utama yang perlu disosialisasikan ialah bahwa perusahaan sebagai unit kerja bersama adalah sebuah konstruksi sosial. Konstruksi sosial itu sendiri eksis karena kontrak-kontrak sosial di dalamnya yang sudah teruji dalam ruang dan waktu. Di mana nilai dan normal sosial sudah menjadi urat nadi relasi di antara mereka. Perusahaan tentu mempunyai kontrak sosialnya sendiri yang mungkin berbeda-beda. UU Ketenagakerjaan hanyalah sebagian kecil dari kontrak sosial tertulis yang difasilitasi pemerintah yang ingin memberikan solusi tengah antara pengusaha dan buruh.

Konflik buruh-pengusaha-pemerintah terjadi karena trikotomi ini membuat bentengnya sendiri-sendiri. Ketiganya harus duduk bersama tanpa memandang siapa mewakili siapa. Tujuan saling meniadakan ini untuk kemajuan perusahan sebagai unit kerja yang kini terpengaruh akibat mogok dan demo. Fungsi tripartit tampaknya justru memberikan masing-masing kubu untuk memperkokoh kepentingan dari tekanan di antaranya. Dari yang sifatnya politis (tarik menarik revisi), ekonomis (pemberian suap atau ancaman PHK) sampai kriminal (pembunuhan Marsinah dan pengajuan ke meja hijau).

Kontrak sosial antara buruh dan pengusaha dalam perusahaan bisa berlangsung jika mempunyai makna moral dari hubungan itu. Makna moral di sini diartikan sejauh mana keduanya berjanji dan memberikan jaminan atas kemampuannya untuk perusahaan. Inilah iktikad baik yang mendasari-meminjam istilah Larry Hirschorn sebagai kontrak psikologis-antara buruh dan majikan dalam organisasi. Kasus anarki buruh-pengusaha tersirat merupakan pemaksaan baik buruh atau majikan untuk saling mengubah makna moral ini. Condong ke pengusaha atau condong ke buruh yang semuanya hanya menghasilkan konflik baru.

Struktur bayangan

Matematikanisasi UU Ketenagakerjaan seperti penentuan jumlah pesangon misalnya justru memperkuat dikotomi buruh-pengusaha yang kontraproduktif. Harga seorang buruh hanya ditentukan oleh peraturan tertulis (sekian rupiah) dan bukan penghargaan manusiawi yang lebih bermoral. Belum lagi jika peraturan itu didasarkan atas upah minimum buruh. Ironis sekali bahwa upah yang baru dalam taraf minimum saja, sudah membuat dunia usaha berat lalu kapan tercapai upah maksimum? Pengusaha dan perusahaan terjebak hanya melihat buruhnya dengan kacamata UU tertulis. Di mana buruh mendapatkan kekangan atas hak-haknya di balik kedok ideal usaha atau investor friendly.

Pandangan untuk memajukan perusahaan dan menambah profit ini secara tidak langsung menjadikan buruh sebagai fondasi yang paling berat bagi kemajuan industri. Semua ini tidak terlepas dari makin kuatnya pandangan robotisasi manusia buruh sebagai bagian dari penetrasi teknologi industri. Buruh menjadi bagian dari gerak mesin (ban berjalan) yang seirama, tanpa perasaan, kaku dan otomatis. Pelanggaran atasnya menimpakan akibat proses produksi yang tidak memenuhi standar yang bisa merugikan perusahaan. Dan buruh sangat diindoktrinasi akan hal ini.

Untuk itulah di tengah realitas yang telanjur mengeras antara buruh dan perusahaan perlulah dibentuk struktur bayangan dalam hubungan buruh-pengusaha. Struktur bayangan merupakan struktur perusahaan yang tidak resmi yang bisa mengakses kebuntuan legalitas hubungan buruh-pengusaha. Misalnya kebuntuan UU Ketenagakerjaan yang akan dipakai oleh buruh dan pengusaha di PT A bisa diredam oleh pimpinan PT A dengan membuat "bonus peraturan" perusahan yang konstekstual dan menguntungkan buruhnya sendiri dengan misalnya memberikan tambahan uang jasa misalnya.

Atau memberikan insentif berupa biaya kemahalan atas anggaran hidup yang membengkak. Buruh sebaliknya memberikan komitmen lebih loyal, lebih produktif dan tidak serta merta kerjanya dihitung secara matematika berdasar peraturan. Hidup perusahan tentu tidak selamanya bersifat matematis. Justru di sinilah buruh bisa memberikan sumbangannya bagi perusahaan. Dengan adanya struktur ini paling tidak agresivitas buruh-pengusaha bisa diredam sementara. Struktur bayangan merupakan embrio bagi implementasi pandangan baru buruh-pengusaha.

Dengan makin melembaganya struktur bayangan, perusahaan mempunyai imunisasi atas berbagai isu perburuhan yang merebak seperti ricuh revisi UU Ketenagakerjaan hingga May Day. Struktur bayangan sedikit demi sedikit jika memuaskan kedua belah pihak, bisa diadopsi menjadi struktur perusahaan resmi dalam hubungan keduanya. Sampai pada tahap ini sebenarnya kita telah menanam bibit hubungan industrial yang lebih egaliter, di mana seorang pengusaha adalah buruh yang sukses. Buruh dan pengusaha mempunyai "roh" yang sama, sehingga tidak lagi bisa berbenturan kepentingan-kepentingannya. Ia menjadi batu loncatan bagi kristalisasi struktur baru yang memuaskan semua pihak.***

Penulis, peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta, tinggal di Cileungsi Bogor.

No comments: