Wednesday, May 02, 2007

Muhammad dalam Perspektif Al-Quran

Oleh : Al Birruni Siregar*)


Muhammad s.a.w lahir di tengah keluarga besar Bani Hasyim yang sangat terhormat di kota Makkah. Beliau lahir saat mentari terbit pada hari Senin, hari kesembilan dari bulan Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun Gajah. Dinamakan tahun Gajah, karena sejarah mencatat sebuah prahara yang cukup besar yang dipicu oleh pasukan Abrahah berkendarakan gajah yang menyerang kota Makkah yang hendak meluluhlantakkan bangunan Ka’bah di awal tahun itu. Peristiwa ini termaktub di dalam QS.Al-Fiil. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, Syeikh Shafiyyu Rahman Al-Mubarakfuri).

Sedangkan Ibnu Hisyam, dalam As-Sirah An-Nabawiyah, mengutip pendapat Ibnu Ishaq bahwa Muhammad s.a.w lahir pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah atau bertepatan pada tanggal 20 atau 22 April 571 M, sebagaimana ditetapkan oleh ilmuwan tersohor Muhammad Sulaiman Al-Mansurufauri Rahimahullah.

1. Nabi yang Terlahir Yatim


Sudah 1436 tahun berlalu suatu momen yang menghadirkan seorang anak manusia ke permukaan bumi, yang terlahir dalam keadaan yatim tak berayah, dan tak lama kemudian, kasih sayang ibu serta belaian lembut dan pelukan hangatnya harus berakhir di saat umurnya belum genap enam tahun. Dia-lah Muhammad s.a.w, yang tumbuh dewasa di bawah asuhan sang kakek tercinta Abdul Muthallib, yang kemudian sepeninggalnya, beralih dalam naungan Abu Thalib, sang paman yang bijaksana.

Muhammad s.a.w, yang tidak sempat mengenal ayahnya sendiri dan tak lama merasakan kebahagian bersama ibunya, tidak menyebabkannya frustasi dan kehilangan kendali. Ia tumbuh dewasa dengan sifat tawadhu’, berakhlak terpuji serta jauh dari sifat-sifat yang tercela, seperti takabbur, ujub, zalim dan sebagainya.

Keadaan itu terukir dalam untaian ayat Al-Qur’an dalam QS.Adh-Dhuha: 6 – 8 ;

“Alam yajidka yatiiman fa aawaa. Wa wajadaka dhaalan fahadaa. Wa wajadaka ‘aailan fa aghnaa”.

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bimbang, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”(QS.Adh-Dhuha: 6 – 8).

Kemudian hal itu semua menjadikan pribadi Muhammad s.a.w teguh pendirian, peduli terhadap sesama, dan berkasih sayang terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firmanNya:

“Fa ammal yatiima falaa taqhar. Wa amma saaila falaa tanhar. Wa Amma bini’mati Robbika fahaddist”

“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) (QS.Adh-Dhuha: 9 – 11).

Inilah sebuah tarbiyah Ilahiah (pendidikan dari Tuhan) yang Allah anugerahkan kepada Nabiyyur-Rahmah (sang nabi yang menebarkan rahmat), yang diungkapkanNya dalam kitab suci, sebagai peringatan bagi hamba-hambaNya yang beriman agar dapat membawa diri mereka ke sifat-sifat yang mulia dan sebagainya, sebagai wujud syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas taufikNya berupa hidayah setelah dhalalah (kesesatan), dan kekayaan yang memadai setelah kefakiran yang penuh derita, serta segala nikmat yang tak terhingga menaungi keberadaan mereka.

Inti sari dari makna ayat tersebut di atas: Janganlah bersikap kasar terhadap anak-anak yatim, sebab dahulu engkau adalah anak yatim, dan engkau tidak suka diperlakukan sewenang-wenang. Dan janganlah menghardik orang-orang fakir, karena dahulu engkau seorang yang fakir, dan engkau tak sudi dicela oleh orang lain. Dan tidak diragukan bahwa manusia yang selalu ingat akan nikmat Tuhannya, niscaya akan mengalami kemajuan yang berkesinambungan dalam kebaikan dan tercegah dari kejahatan lagi nasib buruk, bagi yang Allah kehendaki.

2. Manusia yang Berakhlak Mulia


Nabi Muhammad adalah seseorang yang Allah telah menumbuhkannya dalam perkembangan yang sehat, dan kedewasaan yang memikat, sarat akan kepribadian yang tangguh serta perangai mulia yang tiada tandingannya. Seluruh jejak langkahnya, tutur katanya, tindak tanduknya, dan sikap serta tingkah lakunya mencerminkan sebuah keagungan akhlak yang tiada dapat disepadankan dengan sosok atau tokoh siapapun juga.


Kejujurannya dalam bertutur lisan, menyebabkan masyarakat pada saat itu menjulukinya dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya). Sebuah sebutan yang sangat sulit untuk disematkan pada seseorang di tengah gejolak perabadan yang sangat terbelakang dan kejahiliyahan yang merajalela. Hingga seorang Abu Lahab-pun, sebagai musuh umat Islam nomer wahid pada saat itu, harus mengakui keluhuran dan kejujuran akhlak seorang Muhammad s.a.w. Hanya faktor kedengkian dan gengsi yang membumbung tinggi yang menyulut sikap apriori pada diri seorang Abu Lahab, menyebabkan ia enggan mengikuti dakwah Muhammad s.a.w, seorang Nabi dan Rasul pembawa risalah pamungkas untuk seluruh alam.

Hal itulah yang membuat seorang Heraclus, raja Romawi saat itu, patah arang ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang Muhammad s.a.w. Suatu ketika Heraclus bertanya pada Abu Sufyan: “Apakah dia (Muhammad) pernah berkhianat?”, lalu Abu Sufyan menjawab: “Tidak, ia tidak pernah sekalipun berkhianat”. Sehingga tidak ada lagi sebuah siasat bagi penolak dakwah Rasulullah ketika itu kecuali dengan menyebarkan fitnah dan tuduhan palsu, seperti: Muhammad s.a.w adalah seorang tukang sihir, penyair dan pendongeng sejati, serta paranormal dan dukun ramal.


Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menangkis tuduhan-tuduhan palsu mereka, dan mengabarkan pada mereka akan hakikat yang sebenarnya:

“Falaa uqsimu bimaa tubshiruun. Wa maa laa tubshiruun. Innahu laqawlun rasuulun kariim. Wamaa huwa biqawlin syaa’irin, qaliilan maa tu’minuun. Walaa biqawlin kaahinin qaliilan maa tadzakkaruun. Tanziilun min Rabbil ‘aalamiin”.

“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”(QS.Al-Haaqqah:38 – 43).

“Wa maa ‘allamnaahusy-syi’ra wamaa yanbaghii lah. Inhuwa illa dzikrun waqur’aanun mubiin. Liyundzira mankaana hayyan wa yahiqqal qawlu ‘alal kaafiriin”

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir”(QS.Yaasin:69-70).

3. Nabi yang Umi

Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang dari kaum yang ummi (ummiyyin). Umi yang dalam literatur Arab diartikan sebagai orang yang tidak menulis dan tidak membaca. (Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, Syeikh Abdul Muhsin ibn Hamdil Abbad Al-Badr, Daarul Imam Ahmad, Kairo).




Sebagaimana yang terdapat dalam QS.Al-Jumu’ah: 2 :

“Huwalladzii ba’atsa fil ummiyiina rasuulan minhum yatluuna ‘alaihim aayaatihi wayuzakkiihim wa yu’allimuhumul kitaaba wal hikmata wa inkaanu min qablu lafii dhalaalin mubiin”

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Sementara Nazmi Lukas, seorang Arab-Kristen Koptik, dalam karyanya “Muhammad fi Hayaatihi al-Khashshah” (Maktabah Gharib, Mesir, 1981), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ummiyyin (kaum ummi) adalah umat-umat selain bani Israil. Bani Israil telah mengaku sebagai bangsa yang terpilih serta satu-satunya bangsa yang mendapat petunjuk dan anugerah kenabian, sedangkan bangsa lainnya umamiyyun atau ummiyyun, yang tidak mendapatkan hidayah dan anugerah kenabian. Oleh karena itu, ayat ini (QS.Al-Jumu’ah: 2) turun untuk menegaskan rahmat yang diberikan Allah kepada bangsa ummiyyun, yakni dengan diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka, yang menyampaikan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Dalam buku yang sama Nazmi Lukas mengatakan bahwa tidak setiap orang yang ummi adalah orang bodoh dan tidak setiap orang bodoh adalah ummi. Orang yang ummi adalah orang yang tidak dapat membaca dan menulis, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Tidak semua ilmu berkaitan dengan bacaan dan tulisan, dan tidak semua bacaan dan tulisan adalah ilmu yang menjadi tanda bodohnya seseorang yang tidak membaca dan menulis.

Setelah sebuah kenyataan tentang nabi Muhammad yang ummi tertera dalam QS.Al-Jumu’ah: 2, Allah menurunkan firman QS.Al-Isra’:88:

“Qul la inijtama’atil insu wal jinnu ‘ala an ya’tuu bimitsli haadzal Qur’aan laa ya’tuuna bimitslihi walaw kaana ba’dhuhum liba’dhin dzahiira”.

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.

Seiring dengan munculnya Muhammad s.a.w dengan sifat ini (ummi), mematahkan tuduhan-tuduhan palsu yang dilancarkan oleh kaum kafir atas apa yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad, berupa cerita-cerita dongeng nan fiktif, atau hikayat serta legenda yang imajinatif belaka. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Ankabut: 48




“Wamaa kunta tatluu min qablihi min kitaabin walaa takhuttuhu biyamiinika idzan lartaabal mubthiluun”

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.

Ayat ini menjadi bukti simbolis bahwa tuduhan-tuduhan orang-orang kafir pada saat itu bermotif sentimentil dan tendensius. Mereka akhirnya terjebak pada kebohongan yang mereka kobarkan sendiri. Bagaimana seorang Muhammad s.a.w bisa mengucapkan kabar dengan untaian kalimat yang indah nan memikat, sedangkan ia bukan seorang penyair, dan ia bukan pula seorang yang mampu membaca dan menulis? Maka terkuaklah kebatilan tipu daya mereka. Sedangkan kesejatian ayat-ayat Allah telah menjadi saksi dan mukjizat yang kokoh, yang mampu mematahkan claim-claim negatif kaum musyrikin terhadap diri Muhammad s.a.w, sosok nabi yang kehadirannya menjadi penyejuk bagi alam semesta. (bersambung...)


*)Mahasiswa Fak.Theologi Islam, Dept.Tafsir dan Ulumul Qur’an, Univ.Al-Azhar, Cairo.

No comments: