Wednesday, November 15, 2006

Tentang Nietzsche dan para Filsuf, Sufi, Ilmuwan, serta Dunia

Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman yang
hidup di abad XIX, yang oleh Guru Besar Filsafat
Indonesia dari IAIN Jakarta, Ahmad Tafsir, disebut
sebagai pelopor Filsafat Pasca-Modern atau Post-Modern
(Posmo); bersama-sama Capra, Arkoun, Derrida,
Foucault, Wittgenstein. Filsafat Pasca Modern yang
sekarang mewarnai dunia dan jadi salah satu acuan
pemikiran utama dalam membangun peradaban, mempunyai
sifat khas untuk mengkrititik Filsafat Modern melalui
apa yang dinamakan «Dekonstruksi» , dan yang
didekonstruksi adalah tentu saja Filsafat Modern
sebagai pendahulunya. Filsafat Modern sendiri, adalah
filsafat yang berlandaskan kepada positivisme
Rasionalisme (atau lebih sederhananya disebut sebagai
«Akal»). Dan Rasionalisme inilah yang digunakan untuk
membangun (hampir) seluruh kebudayaan Barat, terutama
sejak masa Rennaissance yang berlanjut sampai Abad
Pencerahan, dan berujung di masa Modern dengan
kemudian Revolusi Industrinya. Secara umum, kita biasa
menyebut bahwa Filsafat, memang didasarkan pada Akal,
dan para Ffilsuf serta peminatnya, adalah para
pendungkung jalur Akal ini.

Sehubungan dengan ini, menurut Nietzsche di tahun
1880-an, kebudayaan Barat berada di ambang kehancuran
karena terlalu mendewakan rasio (akal). Ia sangat
kritis terhadap cita-cita modernisme yang sangat
berkuasa di Eropa waktu itu. Dan kepercayaan umum akan
kemajuan yang terjadi, sudah dilecehkannya sejak akhir
abad XIX. Ia mengkritik hampir semua relung-relung
Barat (termasuk agama-agama Barat), namun pada waktu
itu orang mentertawakannya, bahkan dikira orang banyak
sebagai orang gila. Penulis sekaliber Bertrand Russel
saja bahkan pada sekitar tahun 1945 pun menyatakan
bahwa ia tidak menyenanginya, dan berharap filsafat
(post-modern) Nietzsche akan hilang lama-kelamaan;
suatu hal yang ternyata justru terjadi sebaliknya di
kemudian hari. Walaupun Nietzsche juga terkenal dengan
klaimnya bahwa Tuhan itu tidak ada, «Tuhan sudah
mati», hanya bayangan atau imajinasi menurutnya dalam
sebuah tulisannya, namun pemikirannya tentang keadaan
dunia boleh jadi adalah salah satu inspirasi besar
yang turut mewarnai perkembangan dan perbaikan dunia.

Dan sekitar satu abad kemudian pada tahun 1990-an,
Capra juga menyatakan hal yang sama tentang kritik
terhadap arah pembangunan peradaban dunia. Capra
bahkan telah menulis buku “The Tao of Physics” yang
menggegerkan dunia Fisika, karena memperlihatkan
hubungan antara revolusi sipritual dan fisika. Selain
itu ia juga menulis buku penting “The Turning Point:
Science, Society, and The Rising Culture” tentang
krisis global serius pada awal dua dasa warsa akhir
abad XX dalam aspek kehidupan kesehatan, mata
pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan
sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Capra,
melihat bahwa penyebab semua kekacauan itu karena
tidak digunakannya paradigma utuh dalam merekayasa
budaya. Ia secara khusus menuding bahwa Cartesian
(paham warisan Descartes) dan Newtonlah yang
bertanggungjawab memunculkan paradigma tunggal bahwa
paradigma sains selain digunakan dalam pengembangan
budaya sains, dipaksakan digunakan juga dalam
pengembangan budaya seni dan etika (yang seharusnya
mendapatkan paradigma, perhatian, pembangunan dan
pengimplementasian berbeda, menurut Capra). Sementara
itu, filsuf lain, Kuhn, pada tahun 1970-an juga
menyatakan bahwa manusia telah salah dalam menjalanai
kehidupannya, dan mulai merindukan spiritualisme yang
hilang dari kehidupannya. Di Indonesia, Herma Suwardi,
guru besar Filsafat Universitas Padjajaran bandung
menyatakan dengan geram tentang kekurangan filsafat
ilmu yang digunakan Barat, yaitu paradigma sains
warisan Descartes dan Newton. Dan Soedjatmoko ‘Koko’,
seorang pemikir dan filsuf Indonesia lain, menyatakan
pada tahun 1980-an bahwa ilmu dan teknologi berhadapan
dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus
ditempuh selanjutnya, berkisar tentang masalah
ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan ilmu dan
teknologi.

Para pendukung Akal memiliki ‘lawan’ sepadan, yaitu
para pendukung Hati (rasa); dan mereka cenderung
saling bertentangan sejak awal jaman peradaban manusia
(sesuai dengan khazanah wawasan Barat, karena ilmu
pengetahuan dan budaya sekarang tak lepas dari
sudut-pandang Barat sebagai pihak yang sedang
menguasai ilmu-pengetahuan dan teknologi paling maju
secara umum dan rata-rata). Dan Akal dianggap
mengalami ‘kekalahan’ di masa kira-kira sejak tahun
200 sampai 1600-an Masehi oleh Hati (rasa, agama). Di
lain sisi, cikal bakal Filsafat yang berlandaskan
Akal, telah dikenal dunia di berbagai bangsa, terutama
yang sudah kita kenal sejak masa Yunani Kuno, yang
juga dikenal dengan Filsafat Rasionalisme Sofisme.
Dari masa inilah antara lain kita mengenal Thales,
Anaximander, Parmanides, Gorgias, Zeno, Socrates,
Plato, dan Aristoteles; selain para ilmuwan seperti
Pythagoras, Ptolemeus, Galen, Hipocrates, dan
Euclides.

Di masa Abad Pertengahan kemudian, kita mengenal para
Filsuf seperti Plotinus, Augustinus, Anselmus, Robert
Grosseteste, Roger Bacon; dan terutama Thomas Aquinas
yang bersama Albert Agung kemudian pada masa akhir
abad Pertengahan juga dikenal sebagai pembaharu Gereja
(yang mengadopsi akal, filosofi, dan memasukkannya ke,
serta menggunakannya bersama dalam wawasan hati,
agama; suatu hal yang ‘baru’ pada masa itu). Di masa
ini, akal dan sains kalah telak, dan agama yang
dikenal Barat mendominasi kehidupan Barat. Filsafat di
masa ini, didominasi Filsafat Kristen, antara lain
dengan landasan penafsiran yang sangat yakin akan isi
Kitab Suci Injil, sebagaimana tercermin pada semboyan
“credo ut intelligam” (imani lebih dulu, baru cari
argumentasi akal untuk mendukungnya) yang dikemukakan
Saint Anselmus. Terlihat jelas juga pada filsafat
Plotinus yang menekankan rasa dan kebersatuan dengan
Tuhan dengan dituntun Kitab Suci (yang kemudian hari
juga dianggap beberapa kalangan, mempengaruhi sebagian
paham Filsafat Islam yang cenderung kepada Tashawwuf
aliran ”Wahdatul Wujud”, tentang kebersatuan wujud
manusia dan Penciptanya; selain berbagai pengaruh
lain), dan juga pada Augustinus yang mengganti akal
dengan iman dan potensi manusia dengan kuasa Tuhan.
Pada Aquinas kemudian, penghargaan terhadap akal
muncul kembali, seperti telah disinggung sebelumnya,
dan karena itu pula pada masa ini filsafatnya banyak
mendapatkan kritik. Masa beberapa abad di penghujung
Abad Pertengahan ini juga diwakili rangkaian Perang
Salib antara Nasrani dan Muslim, yang di satu sisi
juga merupakan pertemuan dan pertukaran budaya Barat
dan Timur; dalam cara yang dahsyat dan sungguh tragis
ini. Batas yang jelas mengenai kapan dimulainya
penghabisan Abad Pertengahan sendiri sulit ditentukan,
namun yang jelas Abad Pertengahan telah selesai
tatkala datangnya jaman Rennaissance yang meliputi
kurun waktu Abad XV dan XVI Masehi, yang dimulai dari
Italia dan diawali dari Sicilia di wilayah Mediterania
sebagai salah satu titik pertemuan Barat dan Timur.

Banyaknya orang yang jengkel dengan dominasi Gereja
dalam banyak sekali sisi kehidupan masyarakat Barat di
masa Abad Pertengahan juga melahirkan filsafat masa
Rennaissance dengan filsafat dan gaya hidup
Humanismenya, menuju masa Modern; dan pionir pendobrak
utamanya adalah Rene Descartes dari Inggris di abad
XVI sampai XVII Masehi, sebagai ‘Bapak Filsafat
Modern’. Jaman Rennaissance (yang menggantikan masa
Abad Pertengahan, abad yang juga disebut sebagai Abad
Kegelapan) yang dipicu oleh keinginan kuat terhadap
penemuan-penemuan baru dalam seni dan sastra,
khususnya diawali oleh para seniman seperti Petrarca
dan Boccaccio di abad XII Masehi, adalah jaman yang
mewadahi dan berinteraksi dengan perkembangan
pemikiran peradaban ini, bersama para Filsuf itu. Dan
di masa-masa ini, sebagai salah satu akibatnya, juga
kemudian terjadi Reformasi Gereja di Eropa sebagai
reaksi sebagian masyarakat Eropa terhadap beberapa hal
dalam kehidupan Gereja Katolik, dan melahirkan agama
Kristen Protestan serta kemudian perang antara kaum
Katolik dan Protestan (misalnya yang terkenal, antara
Kerajaan Inggris yang Protestan dan Kerajaan Spanyol
yang Katolik) dengan tokoh-tokoh Protestan seperti
Pendeta Martin Luther di Jerman, Ulrich Zwingli di
Swiss, John Calvin di Prancis, dan Raja (King) Henry
VIII di Inggris. Humanisme juga muncul, saat potensi
manusia di Barat yang seakan agak tertutup dan
dinafikan di jaman sebelumnya yang didominasi Hati,
menjadi lebih dikedepankan dan digali, dan tercermin
dalam inti sari pemikiran “manusia menentukan
takdirnya sendiri, kehendak Tuhan tidak cukup penting,
maka agama (yang dikenal Barat) dengan segala
aturannya juga tidak penting”.

Kata Rennaissance berasal dari kata re-nasci dari
bahasa Perancis yang berarti kelahiran kembali, saat
Barat berusaha mengejar ketertinggalan peradabannya
dari Timur setelah masa-masa ‘kekalahan akal’ itu, dan
salah satu akibatnya agama di Barat menjadi dijauhi,
bahkan dinafikan. Maka, seiring dengan hal-hal di atas
dan perkembangan ilmu pengetahuan, agama-agama
(Katolik, Protestan, dan Yahudi; semua agama yang
sudah dikenal dan diakui Barat saat itu dengan segala
variasi prakteknya) menjadi dianggap tak masuk akal,
dan bahkan menghambat kemajuan. Berkaitan dengan hal
ini, mungkin anda masih teringat akan pertentangan
antara Galileo Galillei yang menggunakan teleskop
temuan Nicolaus Copernicus dan menyatakan bahwa Bumi
mengitari Matahari, sementara dominasi kaum agamamawan
Gereja di jaman itu berkeras bahwa Bumi adalah pusat
alam semesta dan karenanya adalah Matahari yang
mengelilingi Bumi? Karena kalah pengaruh, Galileo
dilarang menyebarkan pahamnya, dan buku-bukunya
dibakar. Pengucilan terhadap temuan dan diri Galileo
ini sendiri kemudian direvisi dan diakui resmi Gereja
Katolik, namun baru sekitar lima ratus tahun kemudian.
Pada jaman itu, juga banyak pihak yang bertentangan
dengan tafsiran Gereja, misalnya Jean d’Arc (Joan of
Arc) dari Perancis atau orang-orang yang dianggap
penyihir karena meramu ramuan kimiawi tertentu dan
ragam tuduhan lain; bahkan dihukum mati dengan cara
dibakar hidup-hidup.

Kemudian, jaman Rennaissance dengan Filsafat
Modernnya, memunculkan berbagai aliran besar filsafat.
Tokoh-tokoh di jaman kebangkitan akal ini yang juga
disebut sebagai Filsuf Modern antara lain adalah Rene
Descartes, Voltaire, Baruch Spinoza (berganti nama
setelah mengucilkan diri dari agama Yahudi, menjadi
Benedictus de Spinoza), Francis Bacon, dan Gottifried
Wilhem von Leibniz; dalam kelompok Filsafat
Rasionalisme. Sebagai ‘Bapak Filsafat Modern’, metode
Descartes yang terkenal adalah ‘Cogito Descartes’
(metode keraguan Descartes) yang pada dasarnya
menurutnya segala sesuatu haruslah diragukan terlebih
dahulu (berlawanan dengan metode keyakinan ‘Credo’ di
Abad Pertengahan Anselmus) dan karenanya akal harus
sangat digunakan untuk menyelidikinya. Lalu dalam
perkembangannya muncul kelompok Idealisme Objektif
dengan Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhlem
Joseph Schelling, dan George Wilhelm Fiedrich Hegel.
Juga dikenal nama besar Blaise Pascal dan Immanuel
Kant dalam kelompok idealisme Theist. Kemudian John
Locke, David Hume, Herbert Spencer dalam kelompok
Empirisme. Lalu juga ada William James (dari Amerika
Serikat, negara yang langka mengahsilkan Filsuf)
sebagai tokoh Pragmatisme, serta Soren Kierkegaard dan
Jean Paul Sartre dalam kelompok Eksistensialisme.
Immanuel Kant sebagai filsuf barat yang biasanya
cenderung kepada akal (saja), patut mendapat catatan
khusus karena mencoba menelaah akal dan hati dengan
seimbang. Sementara itu, Rennaissance dan Jaman Modern
juga melahirkan sejumlah ilmuwan besar (dengan segala
kekontroversiannya) yang kita kenal seperti Leonardo
Da Vinci dalam banyak cakupan ilmu-pengetahuan dan
seni, Antoine Lavoisier dalam ilmu kimia, Blaise
Pascal dalam fisika, Bernoulli dalam fisika, Johannes
Keppler dalam astronomi dan fisika, Nicolaus
Copernicus dalam fisika optik, Galileo Gallilei dalam
astronomi, dan Isaac Newton dalam fisika dan
matematika. Lalu masa (modern) yang disebut masa
Post-Modern menampilkan Mendel dalam biologi; dan juga
Alexander Fleming dalam farmasi, Charles Darwin dalam
evolusi, Sigmund Freud dalam psikologi atau
psikoanalisa, lalu para ilmuwan fisika dan fisika
terapan besar seperti Albert Einstein, Werhner Von
Braun, dan Stephen Hawkings.

Kesemuanya namun, cenderung tetap mendewakan rasio
secara berlebihan. Dan manusia modern yang mewarisi
sikap positivistik Rasionalisme ini cenderung pula
menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan
substansi rohani manusia, dan bahkan hari akhirat. Ini
tentu berpengaruh kepada penafsirannya ke dalam
(manajemen) pengaturan kehidupan sehari-hari, dan ini
semua juga mengawali apa yang di kemudian hari dalam
struktur masyarakat (sosial) dan budaya serta tatanan
ekonomi bahkan politik dan hukum; disebut sebagai
Sekulerisme yang meminggirkan agama, menafikan agama,
dan membuatnya tidak boleh mengurusi urusan duniawi,
dianggap hanya sebagai alat untuk berhubungan dengan
Tuhan saja dan mengurusi urusan ‘tidak tampak’, agama
adalah untuk masalah akhirat saja. Dan secara langsung
atau tidak, ini semua juga di kemudian hari
menyebabkan apa yang dikenal sebagai Kapitalisme, juga
Sosialisme (a la Barat, bukan a la Timur), Marxisme,
Komunisme, Agnostisme, bahkan Atheisme, sebagai
konsekuensinya; dan pada gilirannya kemudian, lebih
menyebar dari Barat dengan segala sisi baik-buruknya
melalui Globalisasi yang kita kenal sekarang,
bertempur dan juga bercampur dengan segala paham lain
yang dikenal manusia, termasuk agama-agama. Khusus
mengenai Agostisme, dianggap beberapa kalangan adalah
merupakan ‘saudara agama Kristen dengan tafsir
berbeda’, bukan merupakan peminggiran agama (namun
memang ya, jika kita menganggap bahwa agama hanyalah
Katolik atau Kristen Protestan saja) terutama
didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dari
penemuan menghebohkan akan naskah Bible kuno di gua di
pegunungan laut Mati pada tahun 1945. Sosialisme
adalah reaksi atas Kapitalisme, dan Marxisme,
Komunisme, bahkan Atheisme; adalah reaksi langsung dan
tidak langsung dari para pendukung akal yang ‘muak’
akan agama yang dikenal Barat saat itu.

Omong-omong, apakah agama itu sebenarnya? Agama, yang
menurut khazanah Barat sering disebut sebagai perkara
yang tak jauh dari masalah hati atau rasa; cukup
berlainan dengan tafsiran cara hidup peradaban di
timur, yang adalah merupakan kesatuan akal dan hati,
lebih tepatnya, indera-akal- hati (dan agaknya di timur
ada juga yang diwarnai kecenderungan untuk lebih
menggali potensi hati daripada akal saja termasuk
hal-hal di luar itu semua yang bersifat tak diketahui
manusia atau ghaib dan mistisme); yang kesemuanya
berujung kepada bentuk praktek, budaya dan peradaban
masing-masing. Secara ironis, di timur kedudukan akal
tak harus berbenturan dengan hati (dan indera). Lebih
jauh pula terutama di jaman dahulu kala, dunia timur
tak banyak yang merasa perlu untuk benar-benar
memisahkan antara telaah akal, hati, dan indera. Kita
juga harus mengetahui (laksana di Barat) bahwa dunia
Filsafat timur juga mencakup banyak sekali tokoh,
seperti mereka yang berasal dari Cina, India, Persia
dan Timur-Tengah secara umum; dan saya juga
berpendapat Kong Hu Cu (Konfusius) yang juga dikenal
sebagai agamawan dari Cina dan Lao-Tze, adalah
beberapa orang terkemuka di antara para tokoh di jaman
awal perkembangan pemikiran ini. Beberapa pihak malah
menyebutkan bahwa mereka ternyata tidak atau tidak
banyak berbicara mengenai hal ghaib (yang belum
diketahui nyata), dan akhirat. Mereka umumnya
berbicara mengenai tata cara kehidupan bermasyarakat,
bernegara, dan berkeluarga; dan karenanya memenuhi
salah satu syarat sebutan sebagai Filsuf. Omong-omong,
sadarkah anda bahwa belum pernah ada agama lahir di
barat? Terutama, kita sudah mengenal agama-agama besar
Buddha, Hindu, Yahudi, Kristen (Katolik, Protestan,
Mandayan, Agnostics, dan sebagainya) dan Islam.

Walaupun sayangnya dahulu pencatatan rincian kejadian
sejarah agaknya menjadi suatu hal yang tidak umum, di
kemudian hari masyarakat dunia semakin sadar untuk
mencatat segala perkembangan sejarah indera-akal- hati
ini, baik di dunia timur atau barat. Dan sejak masa
kedatangan Islam di abad keenam Masehi, yang menurut
para penganutnya adalah menggenapkan apa yang dibawa
oleh rangkaian para nabi sejak Nabi Adam sampai
keturunan Nabi Ibrahim (nama lain versi Timur dari
tokoh nabi yang dikenal sebagai Abraham di Barat) dari
garis Nabi Ismail (Ishmael), yaitu Nabi Muhammad bin
Abdullah bin Abul Muthalib SAW, termasuk apa yang
dibawa seluruh nabi Yahudi dan Kristen, dan dengan
sendirinya mencakup berbagai budayanya; maka telah
banyak terjadi perubahan di dunia yang membangkitkan
berbagai evolusi dan revolusi peradaban manusia,
termasuk ilmu-pengetahuan. Filsafat dan ilmu
pengetahuan di dunia timur, kemudian tercatat banyak
mempunyai tokoh-tokoh besar cendekiawan dan filsuf
Islam. Ini antara lain sebagai akibat dari berbagai
ekspedisi kaum Muslim di masa itu yang dalam
ekspedisinya ke berbagai penjuru dunia sampai ke
Eropa, Asia, Afrika, dan lain-lain; juga telah banyak
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, filsafat, dan
hal-hal lain, antara lain melalui buku-buku, naskah,
catatan-catatan dari Yunani Kuno, Persia, India, dan
Cina, yang diterjemahkan ke bahasa Arab terutama dari
Abad VIII sampai IX Masehi (terutama di bawah pimpinan
Kalifah Al Manshur dan Kalifah Harun al Rashid), dan
kemudian mereka berikan pula tambahan sumbangan yang
bersifat orisinal serta kemudian mendunia.

Sehubungan dengan segala hal ini, tokoh Filsafat jalur
Rasional dari Timur yang terkenal adalah para Filsuf
seperti Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak Al Kindi (yang
dikenal Barat sebagai ’Alkindus’), Abu Bakar Muhammad
Ibnu Zakariya al Razi (Rhazes), Abu Ali Al Hussain Ibn
Abdullah Ibn Sina (Avecinna), Abu Hamid Muhammad Al
Ghazali (Alghazel), Ibnu Rusydi (Averoez), Al Farabi
(Farabi); termasuk yang kurang dikenal Barat seperti
Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Selain itu, bersamaan
dengan ini juga berkembang ‘jalur bawah’, yaitu yang
disebut juga sebagai jalur hati dan yang juga dikenal
sebagai jalur Mistisme atau Tashawwuf; dalam Islam.
Tokoh-tokohnya sendiri disebut para Sufi, dan yang
terkenal antara lain adalah Rabi’ah al Adawiyyah (sufi
perempuan yang paling terkenal), Hasan al Bashri,
Zunnun al Mishri, Abu Yazid al Bisthami, Husain ibn
Manshur al Hallaj, Muhyidin al ‘Arabi, Abu Nawas,
Nashruddin (Hoja), dan Jalaluddin Al Rumi. Al Ghazali
(Alghazel) sendiri, dikenal sebagai tokoh pertama yang
secara nyata mencoba menggabungkan akal dan hati dalam
suatu keseimbangan, bahkan melahirkan apa yang dikenal
sebagai metode “Thaariqah” atau juga dikenal sebagai
”Tarikat (tarekat)”; untuk penggalian potensi dan
pemeliharaannya. Para Sufi ini, selain terkenal dengan
segala kebijakannya yang berhikmah dalam, bahkan
dikisahkan juga mengalami dan menunjukkan keajaiban
yang di kemudian hari kita kenal sebagai kejadian
‘metafisika’.

Kemudian dunia mengenal pula ilmuwan cendekiawan
cerdik-pandai dari Timur-Tengah dalam berbagai bidang,
terutama dalam matematika (khususnya aljabar,
geometri, dan trigonometri) , kedokteran, kimia,
astronomi, fisika optik, biologi, dan sosiologi.
Tokoh-tokoh itu adalah seperti Ibnu Musa al Khawarizmi
(dikenal Barat sebagai ‘Algoritmus’ atau ‘Algoritma’,
terkenal terutama dalam bidang matematika khususnya
aljabar dan diabadikan dengan sebutan ’metode
algoritma’ dalam aljabar; selain juga dalam geografi,
sejarah dan musik), Al Kindi (atau ‘Alkindus’,
terkenal terutama dalam kimia, fisika, kedokteran
bahkan filsafat), Al Razi (atau ‘Rhazes’, terkenal
terutama dalam bidang kedokteran dan kimia juga
filsafat), Ibnu Sina (atau ‘Avecinna’, terkenal
terutama dalam kedokteran dan pengobatan, juga sebagai
filsuf, penulis ensiklopedia, ahli matematika, ahli
kimia, astronom, dan penjelajah dunia), Al Battani
(atau ‘Albategnius’, terkenal terutama dalam bidang
trigonometri dan astronomi), Al Haitham (atau
‘Alhazen, Avennathan, juga Avenetan’, terkenal
terutama dalam fisika optik dan matematika), Abu al
Rayhan Muhammad Ibnu Ahmad al Biruni (atau ‘Albiruni’,
terkenal terutama dalam matematika, fisika,
kedokteran, astronomi, geografi, dan sejarah), Jabir
Ibnu Hayyan Al Kufi (atau dikenal juga sebagai “Geber”
dari nama depannya “Jabir” dan terkenal terutama dalam
ilmu kimia). Masih banyak yang lain seperti Umar al
Khayyam, Ibnu Khaldun, Ibnu Majid, Abu Qasem Maslamah
al Majriti (astronom yang juga dikenal sebagai ‘Al
Majriti atau Al Madridi’ dari kata ‘Madrid’, tempat
tinggalnya di Madrid, Spanyol), Al Marwazi, Yuhanna
ibnu Masaawayh, dan Hunain ibnu Ishaq.

Khusus mengenai Ibnu Sina, adalah ilmuwan cendekiawan
yang juga menonjol dalam Filsafat. Kitabnya, ”Al
Shifa” (dalam bahasa Latin, kitab ini disebut sebagai
”Sanatio”), merupakan Ensiklopedi Filsafat yang
membahas sangat banyak lingkup ilmu pengetahuan dari
filsafat hingga sains. Filsafatnya berhasil
mempersatukan tradisi Aristotelian, pengaruh
neo-platonikm dan teologi Islam. Dalam bahasa latin,
buku ini disebut sebagai ”Sanatio”. Selain itu, masih
ada pula kitab risalah filsafatnya berjudul ”Al Najat”
dan ”Isharat” di mana pada kedua buku itu ia memadukan
dua kategori utama dalam filsafat, yaitu pengetahuan
teoritis dan pengetahuan praktis. Kebesaran nama Ibnu
Sina (Avecinna) saat ini diabadikan menjadi nama
sebuah nama auditorium besar pada fakultas kedokteran
Universitas Paris di Perancis.

Keunikan dari para tokoh dunia timur ini, seperti Ibnu
Sina (Avecinna), adalah sangat banyak di antara mereka
yang selain sebagai cendekiawan ahli ilmu pengetahuan,
juga sekaligus sebagai filsuf dan pendalam agama,
bahkan ada yang termasuk Sufi pendalam Tashawwuf atau
Mistisme Islam. Hal seperti ini sempat dan bahkan
sekarangpun masih asing, pada beberapa kalangan, bagi
mereka yang berparadigma Barat masa Abad Pertengahan,
Rennaissance, bahkan Modern. Immanuel Kant yang hidup
di abad XVIII Masehi mempunyai arti penting dalam
sejarah karena mengeksplorasi wilayah indera-akal- hati
manusia sesudah satu masa ‘perang berkepanjangan’
antara kaum pendukung akal dan kaum pendukung jalur
hati, namun menurutnya wilayah ketiga ini tak dapat
dimasuki akal dan (apalagi) indera. Namun ternyata, Al
Ghazali (Alghazel) yang hidup sebelumnya di abad XII
Masehi, telah bergerak lebih jauh dengan
memperkenalkan metode ‘Thaariqah’ untuk menghidupkan
suara hati dengan bertobat, berbuat baik, perenungan,
dan menghentikan kerja logika (sementara, saat di
perlukan). Ini diharapkan menjadi cara mencapai dan
memelihara keseimbangan indera-akal- hati. Suatu
kesatuan indera-akal- hati ini, warisan idenya sangat
banyak terasakan sampai saat ini.

Kecenderungan seperti ini semua, adalah suatu hal yang
sebenarnya cukup umum terjadi pada masyarakat timur,
khususnya yang hidup di masa-masa itu. Banyak pusat
pendidikan dunia saat itu berada di Timur-Tengah dan
masyarakat di sekitar para cendekiawan ini menjadi
masyarakat yang beradab, tertib, menetap, dan makmur
sejahtera, berbeda daripada peradaban para leluhur
mereka yang banyak sebagai bangsa nomaden (pengembara)
dan biadab, walaupun pergesekan politik antar penguasa
pun tetap ada. Perpustakaan umum dengan koleksi buku
luar-biasa dapat dengan mudah ditemukan di berbagai
kota pusat pendidikan dan tempat tinggal para
cendekiawan, filsuf dan sufi muslim yang sekaligus
menjadi saluran ilmu-pengetahuan seperti Baghdad,
Persia, Bashrah, Kufah, Qum, Damaskus, Kairo, Tripoli,
Samarkand, Cordova (Kordoba), Toledo, Andalusia,
Sicilia (Sisilia) dan Madrid (Majriti). Bahkan di
masa-masa inilah pertama kali dalam sejarah umat
manusia, pendidikan memiliki makna internasional
secara umum, karena sekolah-sekolah yang disebut
Madrasah itu dibuka bagi berbagai suku bangsa dan
orang beragama yang menginginkannya, tanpa pandang
bulu. Ini berlangsung sampai berakhirnya masa kejayaan
Timur-Tengah akibat perpecahan dan terutama serbuan
Mongol di masa Kubilai Khan (yang kemudian secxara
ironis justru banyak bangsa Mongol yang masuk Islam,
misalnya Timur Lenk dan kerajaannya di Asia Besar, dan
Babur, pendiri dinasti Moghul di India dan
sekitarnya). Sesudah kekacauan di Timur-Tengah ini,
pusat dan jalur ilmu saat itu menjadi tinggal hanya
daerah-daerah dekat Eropa seperti Cordova (Kordoba),
Toledo, Andalusia, Sicilia (Sisilia) dan Madrid
(Majriti). Pecahan-pecahan kekalifahannya kemudian
antara lain membentuk pemerintahan serta peradaban
baru seperti Moghul Islam di India dan sekitarnya,
serta Daulah Islamiyyah Turki Usmaniyyah (Ottoman) di
Turki dengan seluruh wilayahnya dari Afrika Utara,
Timur-Tengah, Anatolia, Asia Besar, Asia Tengah, Eropa
Timur, hingga Yunani di Mediterania.

Buku-buku mereka yang kemudian diterjemahkan ke bahasa
Latin dan Inggris, yang sampai ke Eropa antara lain
melalui Jalur Sutra (Silk Road) yang menghubungkan
Timur dan Barat walaupun terjadi Perang Salib
berkepanjangan antara Nasrani dan Muslim, adalah salah
satu faktor utama yang mendorong terjadinya,
mempengaruhi, dan menyumbang kebudayaan dan peradaban
Barat dalam melakukan Rennaissance menuju Abad
Modernisasi, bahkan mempengaruhi Thomas Aquinas dalam
pembaharuan Gerejanya melalui buku-buku Ibnu Sina
(Avecinna) sebagaimana ditegaskan oleh Gudisalvus
kemudian. Sebelum itu semua, Eropa tertinggal jauh,
bahkan masih jamak dihuni suku-suku liar dan biadab.
Jaman Modern sendiri di kemudian hari telah kita
ketahui, adalah sebagai pengejawantahan perlawanan
pendukung Akal terhadap para pendukung Hati (rasa atau
agama), yang kemudian ternyata menjadi ‘terlalu jauh’.
Maka untuk mendekonstruksinya, lawan dari Filsafat
Modernisme ini adalah Filsafat Post-Modernisme yang
melakukan dekonstruksi terhadapnya sampai saat ini;
dan Nietsche adalah pelopornya. Dan sekarang, kita
sedang dalam masa yang disebut sebagai masa
Post-Modern ini.

Sadarkah anda, bahwa anda sedang hidup di masa yang
menarik, menilik ini semua?

Apapun juga, sungguhpun demikian, ini semua adalah apa
yang biasa kita mengerti, paparkan, dan pandang
berdasarkan khazanah yang sedikit-banyak tak lepas
dari sudut pandang Barat. Ini dikarenakan kedudukan
Barat saat ini sebagai pihak yang secara rata-rata
paling menguasai ilmu-pengetahuan dan teknologi saat
ini dengan segala kaitannya, dan ada bagian dari
sejarah yang tak cukup banyak dikenal kebanyakan
orang. Satu contoh akibatnya, adalah kebiasaan sebutan
‘Timur Jauh’ sejak jaman Abad Pertengahan untuk Asia
karena letak Asia yang jauh di timur dari barat
(padahal dunia adalah bulat bagai bola, satu hal yang
baru diketahui jauh di kemudian hari). Kalau saja
orang timur saat itu yang lebih menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, mungkin untuk wilayah
Kanada atau Jerman kita dapat saja sebut dan
populerkan istilah ‘Barat Jauh’, bukan? Tetapi bahkan
untuk menyebut negara kita sebagai ‘Nusantara’ saja
kita tak dapat lakukan, kita menyebut negara ini
sebagai ‘Indonesia’ yang, sekali lagi, adalah khazanah
sebutan Barat seperti pada sebutan ‘Polynesia’,
‘Melanesia’, dan ‘Malaysia’ untuk wilayah-wilayah dan
negara-negara itu. Maka, juga sangat berkaitan dengan
ini, hendak ke manakah arah ’Timur Jauh’ Nusantara
Indonesia di masa depan? Untuk menjawab ini semua,
saya serahkan kepada anda semua untuk pengambilan
kesimpulannya saja, anda cukup mampu menarik
kesimpulan sebenarnya, saya yakin.

Namun yang jelas, apapun juga hasil kesimpulan anda
itu, rasio pendapatan seperlima penduduk dunia di
negara-negara terkaya terhadap pendapatan seperlima
penduduk di negara-negara termiskin dunia meningkat
dari 30 berbanding 1 pada tahun 1960, menjadi 74
berbanding 1 pada tahun 1995. Perusahaan beraset di
atas 5 miliar dolar di dunia, sekitar 8000 perusahaan
dimiliki Amerika Serikat, Inggris sekitar 3000
perusahaan, Jerman sekitar 800 perusahaan, dan Jepang
sekitar 400 perusahaan. Dari tahun 1979 sampai awal
Milenium Ketiga, golongan terkaya sebanyak 1% di
Amerika Serikat telah mendapatkan rata-rata kenaikan
gaji sebanyak 157%. Dua ratus perusahaan terkaya
dunia, mendapatkan rata-rata kenaikan keutungan 362,4%
sejak 1983, dan gabungan hasil penjualan mereka adalah
lebih tinggi daripada gabungan kekayaan Gross Domestic
Product (GDP) seluruh negara dunia, kecuali sepuluh
negara terkaya di antara mereka. Bila anda menyaksikan
siaran TV di channel Discovery Travel & Living, salah
satu acaranya adalah menyajikan liputan rumah-rumah
mewah, dan di Amerika Serikat serta Eropa, banyak
sekali rumah berharga di atas 10 juta dolar, bahkan
ratusan juta dolar. Lalu harga satu buah rudal
Sidewinder, Tomahawk, dan sejenisnya sebagai salah
satu perlengkapan tempur standar pesawat perang,
adalah sekitar 800.000 dolar. Dan apakah anda tahu
satu buah pesawat perang terbaru dan tercanggih
Amerika Serikat, F-22 Raptor, berharga lebih dari 280
juta dolar Amerika? Tentang Amerika Serikat, negara
ini sendiri ternyata teratas dalam jumlah miliarder
dan jutawan, juga memiliki reputasi sebagai negara
anggaran militer terbesar, terbanyak mengkonsumsi
minyak bumi, terbanyak mengkonsumsi gas alam,
terbanyak mengunakan energi per kapita (tiap
orangnya), terbanyak mengkonsumsi kalori sehari-hari,
terbesar memproduksi sampah per kapita, terbesar
memproduksi emisi karbon dioksida (lebih dari gabungan
produksi emisi karbon dioksida Australia, Brazil,
Canada, Perancis, India, Indonesia, Jerman, Italia,
Mexico, dan Kerajaan Inggris Britania Raya), terbesar
memproduksi limbah berbahaya (dua puluh kali lipat
negara kedua tertinggi, pesaing terdekatnya, Jerman),
terbanyak jumlah Presiden yang terbunuh, terendah
nilai prestasi pendidikan rata-rata tingkat Sekolah
Menegah Pertama (eight grade student), terbanyak anak
remaja yang tewas akibat senjata api, terbanyak anak
remaja hamil di luar nikah, terbanyak pembunuh remaja,
terbanyak jumlah perjanjian hak azasi manusia
internasional yang tidak ditandatangani (diakui,
diikuti), teratas sebagai negara yang tak
menandatangani Kyoto Protocol tentang lingkungan, dan
teratas di antara beberapa negara anggota PBB yang
tidak meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak

Ini terjadi sementara Bank Dunia, Asian Development
Bank, USAID, IMF, dan bank-bank lainnya,
korporasi-korporasi dan pemerintah-pemerint ah yang
terlibat di dalam “bantuan” internasional, terus
menceritakan kepada kita bahwa mereka sedang melakukan
pekerjaan mereka, bahwa kemajuan telah dicapai. Tentu
saja, di Nusantara (dan sebagaimana terutama biasanya
di negara-negara berkembang lain) korupsi, kolusi,
nepotisme, kebodohan, keserakahan, ketidakpedulian,
iri-hati, takhayul, dan banyak hal lain juga menambah
parah keadaan; selain campur-tangan asing seperti
dalam apa yang dilakukan para Economic Hit Men (EHM)
melalui berbagai pinjaman dan proyeknya yang
dimanipulasi. Sungguh malang nasib Indonesia (dan
negara-negara berkembang lain terutama penghasil
minyak bumi dan gas alam) yang mendapatkan ‘bantuan’
pinjaman yang di mark-up sehingga berbunga yang bahkan
tak mungkin dibayar lunas sampai ke anak-cucu, dan
masih juga ditambah dengan korupsi dan kolusi
besar-besaran yang biasanya dilakukan orang Indonesia
sendiri pula terhadapnya. Dan nanti, khusus mengenai
EHM, perkara maha penting ini, akan saya bahas di
kesempatan lain, God willing, insya Allah.

Dan, orang masih bertanya, mengapa semakin banyak
terjadi bencana di negeri ini ...

Sadarkah anda, bahwa anda sedang hidup di masa yang
menarik dan penting?

Apa yang akan anda lakukan?

Jakarta, 1 Mei 2006

Salam. – R. Alexander Machicky Mayestino T. Soendoro
St.Bagindo Malano (Kiky)

No comments: