Wednesday, November 15, 2006

MICHAEL MOORE DAN JOHN PERKINS

MICHAEL MOORE


Saya sedang tak sengaja melihat Reality TV “The Awful
Truth with Michael Moore”, Sabtu malam, 23 April 2006,
di Kabel Vision, Jakarta. Lalu saya sadar bahwa sedang
melihat suatu hal yang aneh, dan membuat saya tetap
berada di saluran ini (padahal saya biasanya kurang
suka Reality TV yang menurut saya didominasi hal-hal
tak berguna, seperti acara adu nyali tahan
jijik-jijikan dan sebagainya).

Ternyata ada liputan tentang program “African-American
Wallet Exchange” di New York! Artinya, suatu program
‘nyeleneh’ tentang pertukaran dompet gratis bagi
golongan ras African-American (= Afro-American, orang
kulit hitam Amerika Serikat). Semua dompet mereka,
digantikan dengan dompet berwarna oranye, dan gratis
pula!

Mengapa?

Rupanya telah begitu banyak orang Afro-American yang
meninggal tertembak tak sengaja oleh polisi Amerika
Serikat, karena dikira polisi Amerika Serikat sedang
berusaha mengambil senjata api saat merogoh sakunya;
padahal kebanyakan sedang mengambil dompet mereka yang
berwarna hitam atau gelap untuk menunjukkan identitas
(dompet yang berwarna gelap serupa dengan warna
umumnya senjata yang juga gelap). Ini hasil Halo
effect, stereotype orang Afro-American sebagai pelaku
kriminal, biang penjahat, gangsta, pencuri, pengedar
obat-bius, dan sebagainya. Di acara ini, juga
ditunjukkan bahwa sebuah Telepon Seluler Ericsson
berwarna hitam yang dipegang seorang pria berkulit
hitam akan sangat terlihat seperti senjata api,
dibandingkan dengan bila dipegang oleh si pembawa
acara berkulit putih (yang sekaligus produser acara
ini).

Siapakah dia? Sang pembawa acara dan sekaligus
produser acara nyeleneh itu? Si pembawa acara itu
ternyata adalah Michael Moore sendiri. Michael Moore
kebetulan juga sangat terkenal di dunia jurnalistik
dan film dunia. Dialah si Michael Moore, si pria gemuk
berwajah jenaka berjanggut tak rapi yang agaknya
hampir selalu memakai topi (pet) baseball, berjaket
olahraga, bercelana jins, dan hampir tak pernah
terlihat berbusana rapi di segala suasana dan
kesempatan itu.

Michael Moore! Orang yang luar biasa! Kita sebut saja
dengan inisial “MM”, seperti beberapa nama terkenal
lain Marilyn Monroe, Mickey Mouse, Mike Myers,
Mahathir Mohammad, dan … Machicky Mayestino? …
Hahahahhaaaaa …!

Jadi, kita sebut dengan inisial “MM”! dan MM ini
adalah juga orang yang sama yang menulis buku2
sindiran dan investigasi best-seller yang disajikan
dengan penuh humor dan santai seperti “ Dude, Where’s
My Country?”, “Stupid White Men”, dsb.; serta film
dokumenter “Fahrenheit 9/11” tentang serangan 11
September 2001 terhadap Amerika Serikat. MM, orang
yang juga mengguncangkan dunia dengan segala film
dokumenternya dan diberikan penghargaan khusus di
Festival Film Cannes! Rata-rata isi tulisan dan
liputannya adalah tentang kebobrokan Amerika Serikat
sejak beberapa dekade terakhir, terutama jaman Carter,
Reagan, Bush Senior, Clinton, dan Bush Junior. Sangat
terutama, entah mengapa, adalah tentang dinasti Bush,
termasuk segala langkah blunder mereka, ‘kebodohan’
George W. Bush (menurutnya) atau yang kita sebut saja
sebagai Bush Junior, dan terutama kecurangan mereka
(Bush sekeluarga) dalam menipu Amerika untuk memenangi
Pemilu Amerika.

Dalam Pemilu Amerika Serikat itu sendiri menurut MM,
sesungguhnya adalah Wakil Presiden di jaman Clinton,
Al Gore dari Partai Demokratlah, yang seharusnya
menang; berdasarkan beberapa fakta yang
dikemukakannya. Tetapi ini tak terjadi karena antara
lain rekayasa penyingkiran 31% calon pemilih Partai
Demokrat di Florida. Lebih jelasnya, para mantan Napi
kulit hitam dan Hispanic yang rata-rata simpatisan
Demokrat, dilarang ikut Pemilu di negara bagian
Florida pimpinan Gubernur Jebb Bush, adik George Bush
Junior dan dibantu data-data dari negara bagian asal
George Bush Junior, Texas; data-data yang di kemudian
hari sesudah Pemilu diketahui ternyata salah karena
banyak yang telah dipulihkan haknya. Lalu ada pula
faktor perbedaan tipis jumlah hasil penghitungan suara
dan perbedaan cara pandang akan suara-suara pemilih
itu. Kemudian juga ada skandal peliputan oleh stasiun
TV Fox News Channel yang dipimpin John Ellis sepupu
George Bush Junior yang mengesankan menangnya George W
Bush (Bush Junior) sebelum akhir penghitungan suara
Pemilu, dan karenanya mempengaruhi opini masyarakat
dan stasiun TV lain. Dan berpuncak dengan adanya
beberapa skandal pentidakhitungan suara sah oleh kroni
keluarga Bush.

Khusus mengenai Presiden George W. Bush ini, si Bush
Junior ini, MM menulis dengan penuh humor bahwa hanya
dalam empat bulan pertama masa pemerintahannya, Bush
Junior telah menyebabkan Amerika Serikat berada dalam
beberapa masalah besar. Antara lain yang pertama,
bermusuhan dengan Eropa akibat tidak meratifikasi
perjanjian pengurangan emisi karbondioksida. Lalu, di
empat bulan pertama pemerintahannya ini, ia juga
memulai Perang Dingin baru dengan Cina dengan
mengirimkan pesawat mata-mata yang kemudian tertembak
jatuh; dan dengan Rusia dengan bermaksud keluar dari
perjanjian Anti-Ballistic Missile (ABM) yang telah
disetujui Amerika Serikat-Rusia sejak tahun 1970-an.
Bush Junior juga memperkeruh suasana yang sebelumnya
telah menuju perdamaian antara Israel-Palestina di
Timur-Tengah, mengurangi pasukan Amerika Serikat di
negara-negara bekas Yugoslavia yang mengakibatkan
pembunuhan antar-etnis meningkat di sana, dan
menentang persetujuan Hak Azasi Manusia PBB yang
mengakibatkan PBB mengeluarkan Amerika Serikat dari
Komisi Hak Azasi Manusia PBB. Selain itu, Bush Junior
juga memerintahkan pemboman penduduk sipil di Iraq,
memperuncing suasana dengan Korea Utara, dan membuat
Amerika Serikat dimusuhi seluruh dunia dengan
menyatakan hendak memulai kembali program “Star Wars”
Missile Defense System (program penggunaan satelit dan
sebagainya sebagai bagian dari sistem persenjataan)
.
Ini semua dicapainya hanya dalam empat bulan pertama
masa pemerintahannya.

Juga ia tuliskan tentang keanehan seputar kejadian
hancurnya World Trade Center di New York oleh serangan
Al Qaidah, yang tak pelak memunculkan spekulasi
tentang Conspiracy Theory (teori konspirasi) antara
orang-orang yang mungkin terhubung dengan dinas
rahasia Central Intelligence Agency (CIA) dan
National Security Agency (NSA) dari Amerika Serikat,
juga dengan Mossad (Israel) dst. Pendeknya,
persekongkolan antara segolongan orang yang
berkepentingan terhadap dominasi Amerika atas dunia
(khususnya atas negara2 penghasil minyak) langsung
atau tidak, dan masih menjabat resmi atau tidak, dalam
sistem pemerintahan Amerika Serikat, termasuk kroni
keluarga Bush dan keluarga Bush sendiri. Tak lupa ia
soroti hubungan yang sangat erat antara keluarga Bush
dengan keluarga Kerajaan Arab Saudi yang menimbulkan
sejumlah pertanyaan. Ini bahkan berlanjut kepada
spekulasi isu persekongkolan bahwa orang-orang Yahudi
yang biasa bekerja di WTC ternyata telah diperingatkan
sebelumnya dan tidak (banyak) ada yang masuk kerja
saat serangan Al Qaidah terjadi. Maka diasumsikan
secara luas oleh sebagian publik bahwa rencana
serangan itu telah diketahui sebelumnya dan sejumlah
orang di Amerika Serikat sengaja membiarkan serangan
itu terjadi untuk digunakan sebagai dalih menyerang
Saddam Hussein, Taliban, Al Qaidah dan masyarakat
Islam lainnya yang dicurigai membahayakan kepentingan
Amerika Serikat.

Kesemua buku dan film MM itu diterbitkannya beberapa
tahun lalu, terutama di masa-masa sesudah serangan
terhadap WTC itu, namun dia tidak berhenti di sini. Di
acara ini, misalnya, sesudah tentang program
penggantian dompet itu, dilanjutkannya dengan
mengungkapkan fakta dan liputan terhadap (sekali lagi
dengan penuh humor) fakta bahwa hukuman mati sangat
naik frekuensinya, di negara2 bagian yang dipimpin
oleh, tak lain tak bukan, sang Bush bersaudara!
Tentunya anda tahu bahwa George W Bush adalah mantan
senator Texas, dan adiknya Jebb Bush, adalah (masih)
senator Florida? Dan keduanya adalah anak George H. W.
Bush, mantan wakil presiden di jaman Reagan dan
presiden Amerika Serikat sesudah masa Reagan-Bush?

MM masih terus bekerja seakan tanpa kenal lelah di
bidangnya ini. Saat ini di depan mata saya, dia sedang
meliput tentang pengurangan hal2 seksual di New York
oleh mantan walikota New York, Rudy Giuliani. Walikota
ini membuat peraturan bahwa toko seks yang menjual
segala hal tentang seks harus hanya terdiri dari 40%
barang konsumsi seksual dibandingkan dengan 60% barang
non seksual. Rudy, ternyata justru melakukan skandal
seksual dengan dua perempuan selain istrinya. Maka ia
merayakannya dengan mensponsori produk-produk alat
seks yang diberi label dan foto “Rudy Giulani”! Lalu
dilanjutkannya tentang beberapa hal lain, antara lain
bahwa ada seseorang disuruhnya berpura-pura mati di
jalan di New York dan London, dan ternyata dari
puluhan-ratusan orang yang melewatinya, hanya satu
kelompok orang yang berhenti dan mencoba menolongnya.

Mari kita tinggalkan sebentar tentang acara
luar-biasanya MM (Michael Moore) ini.

Di saluran lain TV Indonesia, di SCTV, Sabtu malam
itu, ada acara menarik lain, acara Debat Terbuka
antara Playboy vs Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Beberapa pesertanya adalah Uztadz Jefri Al Buchori,
Pendeta Nathan Setiabudi, seseorang dari Dewan Pers,
seorang pakar ilmu komunikasi, selain Ponti Corolus
pendiri Playboy Indonesia, Sekjen MMI sebagai pihak
yang langsung berhadapan dan para pemirsa serta si
pembawa acara, Rosi Silalahi. Seru juga rupanya,
sayang saya terlambat mengikutinya dari awal. Jadi,
sementara ada iklan, saya ingin berbicara tentang
seseorang luar-biasa lainnya (lagipula biar saja,
orang-orang itu semua untuk sementara sudah lebih dari
cukup menurut saya dalam menangani diskusi masalah
kemaksiatan dan salah manajemen ini) dan tentang
sesuatu yang jauh lebih makro, yang mungkin justru
secara lebih utama menjadi sebab langsung atau tidak
dan mendasar sebagian besar kerusakan dunia, termasuk
pornografi dan Playboy yang diributkan mereka itu.

Maka, saya sungguh sangat ingin berbicara tentang John
Perkins (klik saja ke situsnya, www.johnperkins.
org),
terutama tentang isi bukunya yang berjudul
“CONFESSIONS OF AN ECONOMIC HIT MAN”. Saya juga sangat
ingin anda membaca tulisan saya ini sampai selesai,
tahankanlah diri anda membaca ini semua sampai
selesai, demi diri anda sendiri. Menurut saya, ini
adalah salah satu buku yang terpenting dalam hidup
saya dan seharusnya juga bagi anda, orang Indonesia
yang peduli kebenaran dan kebaikan. Sungguh. Saya
tidak berlebihan. Mengapakah? Mari kita lihat bersama
di paragraf-paragraf berikut.

JOHN PERKINS

John Perkins, yang kita sebut saja sebagai ”JP” untuk
singkatnya, adalah penulis sejumlah buku dan seorang
ahli Ekonometri, juga mantan Konsultan internasional.
Ia dahulu mewakili perusahaan konsultan Chas. T. Main
(MAIN) yang juga bekerja intensif dengan orang-orang
“Bank Dunia” serta badan-badan lain sejenis seperti
“International Monetary Fund” (IMF), Asian Development
Bank (ADB), dan USAID. Ia sekaligus merupakan mantan
’agen rahasia’ yang dapat disangkal keberadaannya
secara resmi, yang disiapkan oleh badan-badan sangat
rahasia Amerika Serikat (salah satunya mencakup
National Security Agency/NSA). Ia juga sekaligus
adalah, ini yang terpenting, seorang mantan Economic
Hit Man (EHM). Lebih tegasnya tentang EHM, ia adalah
satu di antara mereka (EHM) yang ditugaskan untuk
membuat negara2 yang Amerika Serikat berkepentingan
terhadapnya, berhutang dan sangat tergantung kepada
Amerika Serikat (dan sekutu-sekutunya)
, terutama
secara ekonomi, bahkan menjadi bangkrut sampai ke
suatu tingkat kebangkrutan yang bahkan diperkirakan
tak akan mungkin dibayar oleh anak-cucu mereka (dan
Indonesia adalah salah satunya). Ia, adalah bagian
dari sistem pembangunan kekuasaan besar global dunia
yang disebutnya sebagai ”Corporatocracy”
, yaitu suatu
hubungan yang menguntungkan antara pemerintah,
korporasi dan organisasi multinasional tertentu. Dan
walaupun para EHM yang berjumlah beratus-ratus dan
ribuan pada akhir Milenium kedua mungkin bekerja di
sejumlah perusahaan konsultan dan swasta lainnya,
serta tidak secara resmi digaji oleh negara, namun
mereka mengabdi kepada suatu kekuasaan global; dan ia
memainkan peranan penting dalam membentuk suatu jenis
’pasukan’ baru ini.

Istilah EHM, adalah suatu istilah ’kode’ di antara
mereka sendiri yang merujuk kepada orang yang
ditugaskan untuk dua pekerjaan utama:

1. Membenarkan pinjaman internasional yang besar
kepada negara-negara berkembang yang kemudian akan
disalurkan kembali kepada ”MAIN” dan
perusahaan-perusaha
an Amerika Serikat yang lain
seperti ”Bechtel”, ”Halliburton”, ”Stone & Webster
Engineering Corporation (SWEC)”, ”Brown & Root” atau
”Kellog Brown & Root”; melalui proyek-proyek rekayasa
teknis (engineering) dan konstruksi raksasa.

2. Membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
itu (setelah negara-negara itu membayar MAIN dan
kontraktor Amerika Serikat lainnya, tentu saja)
sehingga negara-negara itu selamanya akan berhutang
kepada kreditor mereka itu dan dengan demikian mereka
akan menjadi sasaran empuk dan sekutu yang penurut
ketika Amerika Serikat (dan sekutu-sekutunya, mungkin)
memerlukan dukungan mereka seperti untuk pangkalan
militer, hak suara PBB, atau akses kepada minyak dan
sumber daya alam lain.

Bila kemudian seorang EHM gagal mengemban tugasnya,
maka para ‘serigala’ akan dilepaskan untuk
’menghabisi’ mangsanya. Dan jelasnya adalah tugas para
‘serigala’ yang adalah para agen rahasia dan pembunuh
ini untuk melanjutkan misi dengan lebih tegas, jika
perlu membunuh. Jika ini pun masih gagal, maka
kemudian terletak di pundak para pemuda tentara
Amerikalah untuk memperjuangkan kepentingan negara
Paman Sam (maskot Amerika Serikat selain Elang
Amerika), melalui operasi-operasi militer langsung.
Maka, negara-negara yang telah berhasil ia taklukkan
atau paling tidak ia ketahui fakta-faktanya tentang
operasi super rahasia ini adalah antara lain Ekuador,
Indonesia, Arab Saudi, Iran, Panama, Iraq, Kolombia,
Venezuela (para EHM dan ’serigala’, menemui kegagalan
di Iraq, Panama, dan Venezuela namun toh tidak
demikian para tentara Paman Samnya yang sukses dengan
Invasi oleh Amerika Serikat ke Panama dan Perang
Teluknya ke Iraq). Dan JP mengungkapkan
kekhawatirannya bahwa banyak orang-orang biasa di
berbagai negara (termasuk di Indonesia, tentunya)
mungkin secara tak sadar juga menjadi bagian dari
Corporatocracy di perusahaan-perusaha
an, berbagai
organisasi, dan menjadi alat untuk menekan lawan-lawan
kepentingan Corporatocary; dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan orang-orang biasa itu seperti
melalui lobbying, hadiah, gaji, bonus, pelatihan,
pemotivasian, penggalangan opini dan simpati; dan
sebagainya.

JP juga sangat berkeyakinan bahwa jatuhnya helikopter
dua pemimpin kharismatis Amerika Latin, Presiden Jaime
Roldos dari Kolombia yang kaya minyak bumi, dan juga
kemudian kecelakaan seniornya, Presiden Omar Torrijos
dari Panama (Panama sangat istimewa karena Panama
secara geografis memiliki Terusan Panama), yang antara
kedua kejadian berjarak beberapa bulan di tahun 1981;
adalah hasil kerja para ’serigala’ berdasarkan apa
yang ia ketahui tentang cara kerja para serigala itu.
Kedua korban ’kecelakaan’ itu juga adalah para
presiden yang berani menentang segala keinginan
Amerika Serikat terhadap negaranya masing-masing.
Inilah alasan utamanya. Presiden Omar Torrijos yang
juga ia telah kenal secara pribadi dalam berkali-kali
kunjungannya ke Panama sebelumnya, telah lama
menentang perusahaan ”Bechtel” yang berkeinginan untuk
terlibat dalam proyek Terusan Panama, saat Jepang
ternyata juga bersedia mendanai dan membangunnya. Dan,
sehubungan dengan ini, sepeninggal Torrijos
bertahun-tahun kemudian, aksi Amerika dilanjutkan
dengan invasi Amerika Serikat ke Panama terhadap
Jenderal Manuel Noriega, sang anak didik Torrijos dan
Presiden pengganti Torrijos almarhum. Presiden
Torrijos almarhum sendiri semasa hidupnya, telah
menjadi orang kuat lama di Amerika Selatan yang ingin
memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyatnya,
memperluas kesejahteraan dan pemerataan kesempatan,
tanpa harus menjadi pendukung Komunisme dan bersekutu
dengan Uni Soviet (mungkin justru inilah ’kesalahan’
almarhum, karena ia tidak bersekutu dengan kekuatan
besar lain saat itu, Uni Soviet, sehingga Amerika
Serikat berani menghentikannya)
, kekuatan besar
penanding Amerika Serikat di masa itu.

Sebagaimana idolanya, Presiden Torrijos dari Panama,
maka sang almarhum Presiden Ekuador Jaime Roldos yang
sebelum menjadi Presiden adalah seorang profesor dan
pengacara, adalah juga seorang nasionalis, demokratis,
dan bukan pula seorang komunis. Presiden Roldos hanya
bermaksud membela hak negaranya, Ekuador, untuk
menentukan nasibnya sendiri dengan gagah berani. JP
juga mencatat bahwa sebelum Presiden Roldos dibunuh,
Presiden Roldos sempat mengusir ”Summer Institue of
Linguistic” (SIL), sebuah organisasi Misionaris
Evangelist Amerika Serikat yang dituduh oleh Presiden
Roldos melakukan kolusi keji dengan perusahaan minyak
dengan dalih mempelajari, merekam, dan menerjemahkan
bahasa pribumi Ekuador (terutama dari suku Huaorani
yang bukan kebetulan pula kiranya bahwa wilayahnya
mengandung minyak berjumlah besar). Menurut Roldos,
kapan saja para Seismolog melaporkan ke markas besar
perusahaan bahwa wilayah tertentu mempunyai
karakteristik menunjukkan kemungkinan besar kandungan
minyak bumi, maka SIL masuk dan mendorong penduduk
pribumi untuk pindah dari lahan itu ke suaka para
Misionaris dengan berbagai fasilitas cuma-cuma, dengan
syarat pengalihan wilayah kepemilikan lahan mereka
kepada perusahaan minyak itu. Organisasi SIL sendiri,
menerima sumbangan dari badan amal Rockefeller dan
Roldos mengklaim bahwa hubungan ini membuktikan bahwa
SIL benar-benar bukti suatu kedok dari kepentingan
kapitalisme perusahaan minyak Amerika Serikat, karena
keturunan John D. Rockefeller sang pendiri perusahaan
minya Amerika Serikat ”Standard Oil”, kemudian
melanjutkan usaha moyangnya ini dengan memecahnya
menjadi beberapa perusahaan minyak utama bernama
”Chevron”, ”Exxon”, dan ”Mobil”.

Sehubungan dengan Indonesia, JP bahkan juga mencatat
dalam kaitan tugasnya melakukan kajian kemungkinan
pinjaman Asian Development Bank dan USAID atas
pembangunan sumber energi Pembangkit Tenaga Listrik di
Indonesia, bahwa ketika ia bertugas di Bandung tahun
1971, ia sempat cukup akrab dengan kawannya yang ia
panggil Rasy, anak ibu pengelola rumah yang mereka
sewa, dan juga dengan beberapa kawan muda idealis Rasy
yang dengan mereka ia bahkan sempat ngobrol bertukar
pikiran dengan terbuka semalaman (termasuk
mendiskusikan tuduhan mereka bahwa JP adalah agen
CIA/Central Intelligence Agency, badan intelijen
Amerika Serikat). Sebelum diskusi semalaman yang
terjadi di warung kopi kecil di Bandung itu, ia juga
sempat diajak oleh Rasy menyaksikan sebuah pertunjukan
wayang tradisional. Di pertunjukan wayang ini,
ternyata ada adegan selingan kejutan yang menampilkan
wayang seorang politikus populer Bandung yang
dikisahkan berani melawan wayang Presiden Amerika
Serikat Richard Nixon dan Bank Dunia. Ia sangat
terkesan akan hal ini, bahkan sempat mengira bahwa
adegan itu disajikan khusus untuknya, satu hal yang
kemudian ternyata salah, karena adegan itu memang
bagian dari skenario sang Dalang dalam pertunjukannya.
Yang sangat menarik adalah bahwa ia kemudian menulis
tentang politikus berani ini bahwa sang politikus itu
ditemukan tewas beberapa hari kemudian, sebagai korban
tabrak lari.

JP juga menekankan kesadarannya dari segala bayangan
awal naifnya, bahwa setelah bertahun-tahun mengamati,
ia menyadari betapa sumbangan Robert McNamara (yaitu
Direktur Bank Dunia yang juga mantan Presiden Ford
Motor Company dan manta Menteri Pertahanan Amerika
Serikat di bawah Presiden John F. Kennedy dan Presiden
Lyndon B. Johnson) yang terbesar dan paling
menyeramkan dalam sejarah, adalah tindakan
pengendalian ”Bank Dunia” menjadi agen kekuasaan
global yang berskala luar biasa luas dan besar, yang
bahkan tak pernah disaksikan sebelumnya dalam sejarah
imperialisme. Apa yang dilakukan manusia dalam rangka
mencapai kekuasaan seperti yang dilakukan Raja
Alexander Agung dari Mesopotamia, Raja Iskandar
(Alexander) Dzul Qarnain dari Persia, Julius Caesar
dari Roma dan kerabat-keturunanny
a, Kekaisaran Cina
yang dibangun Kaisar Shih Huang Ti dan
kerabat-keturunanny
a, Kerajaan Mongol Jengiz Khan dan
kerabat-keturunanny
a, Kekhalifahan Islam Bani
Abbasiyah yang berpusat di Bahgdad, Kerajaan Inggris,
Kerajaan Perancis, Kerajaan Belanda, Kerajaan
Spanyol, Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit
Nusantara di Asia Tenggara, Kerajaan Mongol Islam
Timur Lenk (Tamerland) di Asia Tengah, Kerajaan Moghul
Islam di India kelanjutan Mongol Islam, Kekhalifahan
Daulah Islamiyyah Usmaniyyah (Ottoman) di Turki,
Napoleon Bonaparte dari Perancis, Hitler dari Jerman,
bahkan Stalin bersama Uni Soviet dengan Komunismenya;
tak akan sebanding dengan apa yang telah dilakukan
Amerika Serikat (dan sekutu-sekutunya) ini. Ini semua
dilanjutkan oleh para penerusnya dalam jaringan
”Corporatocracy”
, Bank Dunia, IMF (yang ternyata
dibiayai oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu mereka
di Eropa), Global Agreement on Tariff and Trade
(GATT), yang meluncur di atas ombak Globalisasi, dan
menjadikan beberapa negara, segelintir orang dan
keluarga; telah dan masih menangguk keuntungan dan
kekayaan yang luar biasa besar karenanya.

Lalu tak lupa ia paparkan pengamatannya bahwa sejumlah
perusahaan kontraktor besar Amerika Serikat ternyata
dimiliki oleh orang-orang pemerintahan Amerika
Serikat. Contohnya adalah ”Harken Energy Corporation”
yang memajang George W. Bush (Bush Junior) sebagai
salah satu anggota dewan pimpinan (dan menangguk
berbagai investasi baru, sumber pendanaan tak terduga,
hak pengeboran yang kebetulan dan tiba-tiba, saat Bush
Junior menjabatnya di masa pemerintahan ayahnya,
George H. W. Bush Senior sebagai Wakil Presiden
Amerika Serikat) sesudah George W. Bush (Bush Junior)
gagal di perusahaan energi pertamanya, ”Arbusto” dan
”Spectrum 7”. Lalu perusahaan ”Bechtel”, yang presiden
dan pejabat seniornya mencakup Caspar Weinberger
(mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat di bawah
Reagan) dan George Schultz (yaitu mantan Menteri
Keuangan Amerika Serikat dan Ketua Dewan Kebijakan
Ekonomi Amerika Serikat di masa Presiden Nixon dan
mantan Menteri Luar Negeri di masa Reagan), yang
kemudian Presiden George W. Bush (Bush Junior) sendiri
menunjuk CEO ”Bechtel”, Riley P. Bechtel, sebagai
pejabat Dewan Ekspor Presiden di masa pemerintahannya
tak lama ini. Juga seperti perusahaan ”Halliburton”,
yang memiliki Presiden perusahaan Richard (Dick)
Cheney, yaitu mantan Menteri Pertahanan Amerika
Serikat di bawah George H. W. Bush (Bush Senior), dan
Wakil Presiden Amerika Serikat di bawah George W. Bush
(Bush Junior) saat ini. Bahkan seorang Presiden
Amerika Serikat, George H. W. Bush (Bush Senior), dulu
memulai karirnya sebagai pendiri perusahaan ”Zapata
Petroleum Group”, lalu menjadi Duta Besar Amerika
Serikat untuk PBB di bawah pemerintahan Nixon dan
Ford, untuk kemudian menjadi Direktur CIA di bawah
pemerintahan Presiden Ford. Disebutkannya pula,
keluarga Bush juga ternyata memiliki saham di beberapa
perusahaan minyak dan perusahaan ”United Fruit”, yang
beroperasi di Amerika Selatan. Ia juga menyoroti
betapa perusahaan ”Enron” cepat sekali berkembang
meroket dalam bisnis, yang oleh para analis di luar
perusahaan tak dapat diketahui dengan pasti bagaimana
perusahaan ini dapat mencapai semua ini dalam waktu
singkat, selain komentar samar para orang dalam
tentang betapa besar komitmen mereka untuk
mempekerjakan Eksekutif yang mengetahui seluk-beluk
koridor kekuasaan di ibu kota negara-negara di seluruh
dunia.

JP juga mengemukakan pemikirannya tentang hal yang
mengganggunya dari konsep ”Manifest Destiny”, suatu
doktrin yang populer di antara banyak orang Amerika
selama tahun 1840-an yang menyebutkan bahwa penaklukan
Amerika Utara adalah takdir Tuhan, dan bahwa Tuhanlah
(bukan manusia) yang telah memerintahkan pemusnahan
orang Indian, hutan, dan buffalo (bison), pengeringan
rawa, pengalihan sungai, dan pengembangan suatu
ekonomi yang tergantung pada eksploitasi buruh dan
sumber daya alam berkelanjutan. Ia mengaitkan ini
dengan ”Doktrin Monroe” yang dicanangkan oleh Presiden
Amerika Serikat James T. Monroe pada tahun 1823, dan
digunakan untuk membawa Manifest Destiny ke suatu
tahap lebih lanjut ketika tahun 1850-an dan 1860-an
doktrin itu digunakan untuk menyatakan bahwa Amerika
Serikat mempunyai hak-hak khusus di seluruh belahan
dunia, termasuk hak untuk menginvasi negara manapun di
Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang menolak
mendukung kebijakan Amerika Serikat. Presiden Amerika
Serikat Theodore ’Teddy’ P. Roosevelt
mengembar-gemborkan Doktrin Monroe ini untuk
membenarkan campurtangan Amerika Serikat di Republik
Dominika, Venezuela, dan selama ”pembebasan” Panama
yang tadinya bersatu dengan Kolombia (yang sekali
lagi, amat penting kedudukannya karena memiliki
Terusan Panama, sebagaimana Mesir yang memiliki
Terusan Suez).

Sederet Presiden Amerika Serikat yang berikutnya,
terutama William H. Taft dan Franklin Delano
Roosevelt, berpegang pada Doktrin Monroe untuk
memperluas aktivitas Pan-American Washington sampai
akhir Perang Dunia II. Akhirnya, selama paruh akhir
abad keduapuluh, Amerika Serikat menggunakan ancaman
Komunisme (dan kemudian, ‘ancaman’ dari Islam, dan apa
yang mereka sebut sebagai ‘terorisme’ Islam), untuk
membenarkan perluasan konsep ini ke seluruh dunia
(termasuk tentunya juga ke Indonesia), dan lalu
meluaskan proyek imperialismenya di balik kapitalisme
dan demokrasi yang selalu didengung-dengungka
n Amerika
Serikat selama ini. Ini juga didukung oleh faktor
penting bahwa perdagangan dunia juga didasarkan pada
Dolar Amerika Serikat. Dolar Amerika Serikat sendiri
bebas dicetak oleh Bank negara Amerika Serikat, karena
nilai Dolar Amerika Serikat tidak didasarkan atas
cadangan emas Amerika Serikat, hanya berdasarkan
kepercayaan dunia terhadap mata uang itu.

Syahibul hikayat tentang hidup John Perkins (JP)
sendiri, JP adalah anak tunggal yang dibesarkan di
keluarga kelas menengah Amerika dan berayahkan guru di
suatu sekolah asrama untuk anak laki-laki. JP
dibesarkan dalam lingkungan tertutup, terutama oleh
kedua orangtuanya yang menganggap rendah masyarakat
kota kecil tempat mereka tinggal di Tilton, New
Hampshire. Ia bersekolah di sekolah tempat ayahnya
mengajar, dan ia sendiri termasuk anak yang tidak
populer, kurang bergaul selama masa remajanya. Namun,
JP berprestasi di bidang olahraga dan akademis dan
membuatnya bahkan berhasil mendapatkan beasiswa masuk
dua universitas Amerika Serikat, sebuah pilihan
beasiswa atletik ke Universitas Brown atau beasiswa
akademis ke Middlebury. JP kemudian memilih
Middlebury, karena walaupun Brown adalah Universitas
Ivy League (Liga Ivy, liga univeristas top dan elit
Amerika Serikat seperti Yale, Harvard, Stanford, MIT,
dsb.), didasarkan atas saran orangtuanya yang tak
ingin ia mengambil beasiswa berdasarkan prestasi
olahraga oleh kekhawatiran akan hilangnya beasiswa
bila cedera di Brown dan karena ayahnya mendapatkan
gelar masternya dari Middlebury.

Di sini ia bersahabat dengan Farhad, mahasiswa
berkebangsaan Iran yang adalah anak penasihat Shah
Iran, raja Iran di saat itu (dekade 1960-an); yang
menjadi sahabatnya dalam berhura-hura. Namun
Middlebury terletak di pedalaman Vermont, dan ia
merasa bahwa masa kuliahnya ini adalah perpanjangan
dari masa-masa membosankan yang dia alami selama masa
sekolah pra kuliahnya. Maka JP pun ingin pindah ke
Boston yang lebih kosmopolitan; sebuah pilihan yang
sangat tidak disetujui orangtuanya yang bahkan
mengancamnya untuk tidak mengakuinya sebagai anak
lagi. Ia tak perduli dan dengan sadar kemudian
berhenti belajar, lantas merayakan hari terakhir
kuliahnya dengan bermabuk-mabukan di sebuah bar lokal
bersama Farhad, sampai terlibat kerusuhan dengan
pengunjung bar lain dan Farhad pun dipecat dari
Middlebury esoknya. Berdua mereka kemudian pindah ke
Boston, lalu JP bekerja pada koran Hearst, dan untuk
menghindari wajib militer, JP masuk ke universitas
Boston University - College of Business Administration
pada 1965. Ia kemudian berhasil mendapatkan gelar
Bachelor of Science (setara dengan Sarjana S-1) di
bidang Business Administration di tahun 1968.

JP sangat mengagumi para leluhurnya di jaman kolonial
Amerika Serikat, para pendiri Amerika Serikat seperti
Thomas Paine, Ethan Allen, Thomas Jefferson, Paul
Revere, George Washington, dan lain-lain. Hal ini
membuatnya sangat membenci invasi Amerika Serikat ke
Vietnam yang dianggapnya menindas rakyat miskin
Vietkong, dan justru sangat tidak meneladani
nilai-nilai kepahlawanan Thomas Paine dan kawan-kawan
saat berjuang untuk lepas dari koloni Britania Raya
(Inggris). Karenanya ia pun berusaha menghindari wajib
militer ke Vietnam. Perkenalannya dengan kawan dari
calon ayah mertuanya satu tahun menjelang
kelulusannya, seseorang yang ia panggil sebagai ‘Paman
Frank’ (bukan nama sebenarnya) yang bekerja untuk NSA
di tahun 1967, membuat Perkins setuju untuk bekerja
juga untuk NSA guna menghindari wajib militer ke
Vietnam. Namun sebelum ia sempat melakukan ini,
walaupun ia telah melalui wawancara kerja luar biasa
yang melibatkan alat anti kebohongan dan rangkaian
pertanyaan terperinci tentang berbagai pandangan
hidup, latar belakang kehidupan, dan keadaan
kejiwaannya; ia justru memutuskan bekerja untuk Peace
Corps, suatu cara lain untuk menghindari wajib
militer, setelah menghadiri Seminar penggalangan
anggota Peace Corps. Ia sangat heran karena kemudian
ia justru didorong ‘Paman Frank’ untuk bergabung
dengan Peace Corps ini, terutama karena menurut ‘Paman
Frank’ sesudah nanti Hanoi jatuh ke tangan Komunis,
Amerika Serikat akan memerlukan agen-agen, orang-orang
yang memahami karakteristik Indian Amazon di Amerika
Latin karena menurut Paman Frank, ”... Banyak minyak
di sana”. Paman Frank bahkan dengan setengah bercanda
memprediksikan bahwa Perkins barangkali akan berakhir
‘bekerja untuk suatu perusahaan swasta, alih-alih
untuk pemerintah’.

Singkat kata, ia lalu dikirim ke hutan Ekuador, dan
terlibat banyak dengan kehidupan suku pribumi Shuar di
Ekuador bersama istrinya, Ann, guna melaksanakan
maksud Peace Corps sebagai sukarelawan. Dan di sana ia
mengalami sendiri berbagai praktik curang dan merusak
dari perusahaan minyak Amerika di sana, sembari
menulis tentang situasi ekonomi dan politik Ekuador
dan berkorespondensi dengan berbagai pihak di Amerika
Serikat. Suatu hari kemudian di tahun 1970, ia
didatangi seorang laki-laki berpenampilan necis yang
datang langsung dari Amerika Serikat, bernama Einer
Greve, yang ternyata adalah Wakil Presiden perusahaan
Chas. T. Main (MAIN). MAIN sendiri adalah sebuah
konsultan internasional berpusat di Boston yang tidak
dikenal luas di kalangan pebisnis, namun ternyata
bertanggungjawab atas kajian yang menentukan apakah
klien terbesarnya, Bank Dunia, seyogyanya meminjamkan
miliaran dolar kepada negara-negara berkembang atau
tidak. Greve, yang juga seorang kolonel di pasukan
cadangan Amerika Serikat, kemudian menawarkannya
kesempatan untuk bekerja sebagai Konsultan Ekonomi
untuk perusahaan itu, satu tawaran yang sangat
menggiurkannya. Pertemuan ini kemudian berlanjut
dengan sejumlah korespondensi dan seusai masa tugasnya
dengan Peace Corps, JP pun bergabung dengan MAIN. JP
kemudian juga mengambil kursus tambahan Ekonometri
atas inisiatifnya sendiri guna menjalankan tugas MAIN,
dan memang dalam melaksanakan tugas EHM di kemudian
hari terbukti, ia sangat mendasarkannya pada
pengetahuannya tentang Ekonometri ini beserta sejumlah
data statistik serta informasi lain secara umum (yang
saat itu biasa ia dapatkan dari Boston Public
Librarry, di Boston, Massachussets, Amerika Serikat).

Di MAIN, JP mulai dididik oleh seorang Konsultan
Khusus perempuan berpenampilan menarik (yang mungkin
cukup berlainan dengan penampilan kebanyakan konsultan
lainnya di kantor itu) bernama Claudine Martin.
Claudine lah, yang perlahan-lahan mengarahkan dan
membujuk Perkins untuk menjadi salah satu dari banyak
”Economic Hit Man (EHM)”, suatu istilah ’kode’ di
antara mereka sendiri yang merujuk kepada orang yang
ditugaskan untuk dua pekerjaan utama:

2. Membenarkan pinjaman internasional yang besar
kepada negara-negara berkembang yang kemudian akan
disalurkan kembali kepada ”MAIN” dan
perusahaan-perusaha
an Amerika Serikat yang lain
seperti ”Bechtel”, ”Halliburton”, ”Stone & Webster
Engineering Corporation (SWEC)”, ”Brown & Root” atau
”Kellog Brown & Root”; melalui proyek-proyek rekayasa
teknis (engineering) dan konstruksi raksasa.

2. Membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
itu (setelah negara-negara itu membayar MAIN dan
kontraktor Amerika Serikat lainnya, tentu saja)
sehingga negara-negara itu selamanya akan berhutang
kepada kreditor mereka itu dan dengan demikian mereka
akan menjadi sasaran empuk dan sekutu yang penurut
ketika Amerika Serikat (dan sekutu-sekutunya, mungkin)
memerlukan dukungan mereka seperti untuk pangkalan
militer, hak suara PBB, atau akses kepada minyak dan
sumber daya alam lain.

Caranya, adalah melalui prediksi efek investasi
miliaran dolar kreditor di suatu negara yang telah
direkayasa agar meyakinkan, terutama melalui telaah
dan modifikasi Produk Nasional Bruto (PNB) negara itu;
dan karenanya proyek yang diprediksikan menghasilkan
PNB tertinggi akan menang. Jika ternyata hanya satu
proyek yang dipertimbangkan, maka EHM perlu
mendemonstrasikan dengan meyakinkan, bahwa
mengembangkannya akan membawa manfaat yang besar bagi
PNB negara tersebut. Aspek yang tak perlu diungkapkan
di balik ini adalah, bahwa proyek-proyek ini
dimaksudkan untuk membuat laba yang besar bagi para
kontraktor, dan untuk membahagiakan segelintir
keluarga kaya dan berpengaruh di negara penerima
bantuan; seraya memastikan ketergantungan finansial
jangka panjang dan loyalitas politik pemerintah di
seluruh dunia terhadap orang-orang dan negara(-negara)
pemberi donor. Maka tentu saja berdasar ini semua,
semakin besar pinjamannya, hutang yang lebih besar
daripada seharusnya, semakin baik untuk mereka para
anggota ”Corporatocracy”
. Fakta bahwa hutang yang
dibebankan kepada suatu negara kemudian akan
menghilangkan alokasi dana kesehatan, pendidikan, dan
layanan sosial lainnya bagi rakyat miskin negara itu,
tidaklah penting bagi mereka, kiranya.

Berlawanan dengan idealismenya sesuai dengan semangat
para pendiri Amerika Serikat seperti Thomas Paine,
oleh karena bujuk rayu dan iming-iming berbagai nilai
kekayaan, JP akhirnya setuju bergabung dengan mereka.
Maka, TUGAS PERTAMANYA KEMUDIAN SEBAGAI ECONOMIC HIT
MAN ADALAH UNTUK MENGGARAP INDONESIA DENGAN DALIH
’MENYELAMATKAN INDONESIA’, sebuah negeri yang ia
kagumi kekayaan budaya dan sejarahnya, ’DARI ANCAMAN
KOMUNISME’, YANG DISELESAIKANNYA DENGAN SUKSES melalui
proyek Pembangkit Tenaga Listrik Indonesia di tahun
1971. Ia juga menceritakan gambarannya tentang situasi
Indonesia, khususnya situasi Jakarta saat itu, yang
masih sangat banyak dipenuhi gubuk-gubuk; dan bahkan
keterkejutannya menyaksikan orang buang air besar dan
mandi di kali bersamaan waktu dan berdekatan posisi,
yang terlihat dari Hotel tempatnya menginap. Proyek
itu sendiri kemudian dinaikkannya prediksi konsumsi
listriknya menjadi 17 sampai 20% per tahun yang
sebenarnya berlawanan dengan prediksi 8% dari Howard
Parker, seorang analis lain MAIN yang jujur dan tak
bersedia memanipulasi angka (dan mengakibatkan Horward
Parker dipecat oleh MAIN kemudian); sehingga
membenarkan investasi dari luar-negeri, antara lain
Asian Development Bank dan USAID. Dan ternyata
pemerintah Indonesia saat itu pun menerimanya, dengan
segala konsekuensi hutangnya, tentunya.

INI KEMUDIAN DILANJUTKANNYA DENGAN TUGAS KE
NEGARA-NEGARA LAIN. Tugas-tugasnya berturut-turut
kemudian adalah ke Panama, Arab Saudi, Iran, dan
Kolombia. Dan khusus mengenai Arab Saudi, JP mengalami
sukses luar-biasa di sana, dan karenanya pula JP
bahkan kemudian diangkat menjadi Ekonom Kepala MAIN
dan Manajer Ekonomi dan Perencanaan Regional di usia
sangat muda (menjadi mitra termuda MAIN), memberikan
kuliah di Harvard dan tempat-tempat lain, juga
mengepalai sejumlah anak buah di MAIN yang banyak
diantaranya bergelar Master dan Ph.D, yang ia
manfaatkan untuk mendukung tugas EHM.

Khusus mengenai Arab Saudi, untuk menjelaskan apa yang
dikerjakannya di Arab Saudi, kita harus sedikit
menoleh ke belakang tentang rangkaian perang
Arab-Israel. Dalam rangkaian berbagai perang dahsyat
ini, Israel dengan paham Zionismenya yang berkeinginan
melanggengkan wilayah Palestina yang telah
dicaploknya, didukung Inggris dan Amerika Serikat
sejak akhir Perang Dunia II. Dukungan ini sendiri
terutama diawali melalui dokumen Deklarasi Balfour
pada 1917 tentang dukungan Inggris yang menduduki
Palestina setelah wilayah besar Kekalifahan Turki
Usmaniyyah (Ottoman) dicaplok Inggris dan Perancis
satu-persatu melalui kegiatan intelijen serta dukungan
terhadap perang bagi para pemberontak di berbagai
wilayah Turki, maupun operasi militer langsung. Dengan
berakhirnya mandat Inggris di Palestina, dan sebagai
hasil deklarasi PBB yang dimotori Inggris dan Amerika
Serikat, negara Israel resmi berdiri pada tahun 1948.

Solidaritas negara-negara Arab di sekitarnya terhadap
Palestina seperti dari pemerintah Suriah, Yordania,
Arab Saudi, Iraq, Iran, dan Mesir dengan dibantu
pasokan persenjataan dan teknologi militer Uni Soviet;
mengakibatkan protes keras, bala bantuan dari
negara-negara sekitar terhadap Palestina, dan juga
bahkan kemudian rangkaian perang antara negara-negara
Arab dan Israel yang menahun, bahkan melibatkan
negara-negara beragama Islam lain selain bangsa Arab.
Banyak negara-negara ini dulu berada dalam satu
hubungan pemerintahan di bawah Kekalifahan Turki
Usmaniyyah dan Bani Abbasiyah Baghdad, bahkan Bani
Umayyah jauh di masa-masa sebelumnya, tentunya. Israel
sendiri selalu didukung penuh oleh Amerika Serikat dan
bahkan dalam ”Perang Oktober” yang dimulai dengan
serangan Mesir dan Suriah pada Hari Raya ”Yom Kippur”
Yahudi 6 Oktober 1973, Israel mendapatkan dukungan
dana 2,2 miliar dolar dari Konggres Amerika Serikat
atas permintaan Presiden Nixon pada tanggal 19 Oktober
1973. Untuk membalas ini, satu hari kemudian di
tanggal 20 Oktober 1973, dilakukan embargo total
minyak bumi negara-negara Arab terhadap Amerika
Serikat yang didahului penaikan tarif minyak bumi
negara-negara Iran dan kelima negara teluk termasuk
Arab Saudi sebesar 70% sejak 16 Oktober 1973; sampai
diakhiri pada 18 Maret 1974.

Hal ini mengakibatkan Amerika Serikat dan sekutunya
sangat kelimpungan akibat krisis energi ini dan
tentunya merasa sangat berkepentingan untuk
mengamankan pasokan minyak bumi. Sebagai salah satu
side-effect dan chain-reactionnya, embargo ini
mengakibatkan Indonesia dan juga negara-negara
penghasil minyak bumi lainnya yang tak terlibat perang
mengalami keuntungan luar biasa saat itu, karena
kebutuhan Amerika Serikat dan negara-negara lain akan
minyak bumi. Maka, berdasarkan pelajaran berharga ini,
anggota terpenting OPEC, Arab Saudi; harus segera
diamankan mereka. Dan ini semua dimulai dengan
negosiasi bantuan teknis, perangkat keras dan
pelatihan militer yang bernama JECOR (United
States-Saudi Arabian Joint Economic Commission) satu
proyek yang juga ia sebut di antara mereka sendiri
dengan istilah proyek SAMA (Saudi Arabian
Money-laudering Affair)

Setelah cukup sulit menembus lingkaran konsensus
kesepakatan para anggota Keluarga Kerajaan Arab Saudi,
JP berhasil masuk ke lingkaran keluarga Kerajaan Saudi
melalui kedekatannya dengan Pangeran ’W’, anggota
keluarga Kerajaan Arab Saudi yang paling berpengaruh.
Kedekatannya ini diawali JP dengan termasuk
menyediakan perempuan berambut pirang kesenangan
Pangeran ’W”, yang dipanggilnya dengan nama samaran
’Sally”, untuk memanfaatkan kelemahan Pangeran ”W”
yang diam-diam di tengah disiplin tegas mazhab Islam
Wahabi yang dianut Arab Saudi, ternyata sangat
menggemari perempuan berambut pirang. ’Sally’ sendiri
adalah seorang perempuan cantik mempesona berambut
pirang, istri seorang pilot United Airlines yang
ternyata sering pula berselingkuh dari istrinya ini.
Dan akibatnya, Sally yang juga mantan hippies di masa
flower generation di dekade 60’an yang identik dengan
kehidupan bebas, tak merasa berkeberatan membalasnya
dengan mendapatkan ’sedikit’ penghasilan tambahan.

Setelah rangkaian presentasinya yang menurutnya sangat
sulit dan melelahkan, Kerajaan Arab Saudi pun akhirnya
setuju untuk membelanjakan milyaran dolar hasil
penjualan minyak buminya kepada Amerika Serikat
(terutama berdasarkan dukungan Pangeran ”W”). Ini
terutama untuk membiayai kontraktor-kontrakt
or Amerika
Serikat dalam membangan kota-kota Arab Saudi (dan
menjadikan kota-kota Arab Saudi kebarat-baratan dengan
”Starbucks”, sejumlah besar mobil Amerika, truk-truk
pengolah sampah, toko-toko, rumahsakit, sistem
pengairan, restoran, dan berbagai Mall a la Amerika
Serikat). Selain itu yang lebih penting, kemudian
adalah penanaman sejumlah sangat besar uang keluarga
Kerajaan Arab Saudi di Treasury Bill/T-Bill (obligasi
pemerintah) Amerika Serikat. Yang menarik, ia juga
sempat menyebutkan bahwa Amerika Serikat bersama
Kerajaan Arab Saudi pernah mendanai Usamah bin Ladin
dan para Mujahiddin Afghanistan untuk melawan Uni
Soviet di Afghanistan (di kemudian hari juga berujung
dengan skandal penjualan senjata Amerika Serikat ke
Iran secara diam-diam dalam ”Iran Contra” guna
kepentingan ini di masa Presiden Ronald Reagan,
seingat saya).

Campurtangan Amerika Serikat di Timur-Tengah juga
telah ada saat cucu mantan Presiden Amerika Serikat
Theodore ’Teddy’ P. Roosevelt, Kermit Roosevelt yang
juga seorang pegawai CIA, sukses menggerakkan
masyarakat Iran untuk menggulingkan Perdana Menteri
Iran Mossadegh yang dipilih secara demokratis dan
tidak bersedia menuruti Amerika Serikat; untuk
digantikan dengan seorang raja yang lalim, Shah Iran
Reza Pahlevi, di dekade 1970-an. Shah Iran ini
bersedia menuruti kepentingan Amerika Serikat, juga
terkenal dengan polisi rahasianya yang sangat kejam
(”SAVAK”) dan caranya memerintah Iran dengan sangat
kejam serta gila kuasa. JP bahkan sempat pula
mengunjungi Iran untuk menjajagi berbagai kemungkinan
lanjutan, namun diperingatkan untuk pergi sebelum
terlambat oleh beberapa pihak yang cukup bersimpati
kepada kata hatinya yang menurut mereka, ’berada di
dua dunia’ (termasuk oleh kawan lamanya, Farhad, yang
memperingatkan akan berbagai bahaya).

Kekuasaan Shah Iran yang berlumuran darah berakhir
saat dijatuhkan oleh Revolusi Islam Iran yang
berpuncak pada tahun 1979, dipimpin oleh para ulama
(Mullah), Iran terutama oleh Ayatullah Khomeini yang
sebelumnya sempat diasingkan oleh Shah Iran. Shah Iran
yang kabur ke Mesir dan kemudian berobat ke NewYork,
membuat marah rakyat Iran; dan para pengikut Ayatullah
Khomeini menuntut kembalinya Shah yang berbuntut
dengan penyanderaan 52 staf Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Teheran selama 444 hari. Presiden Amerika
Serikat saat itu, Presiden Jimmy Carter, mencoba
merundingkan pembebasan para sandera dan ketika
perundingan ini gagal, Jimmy Carter mengijinkan suatu
misi penyelamatan militer oleh pasukan khusus Amerika
Serikat pada bulan April 1980, yang ternyata kemudian
juga menjadi gagal total. Pengaruh rangkaian Revolusi
Iran ini antara lain membuat MAIN dan para perusahaan
sejenisnya kehilangan jutaan dolar di Iran, dan juga
berpengaruh terhadap Presiden Jimmy Carter yang gagal
terpilih kembali dalam Pemilu Amerika Serikat
berikutnya, untuk digantikan pemerintahan Reagan-Bush
yang memasuki Washington dengan janji untuk
membebaskan para sandera, menjatuhkan para Mullah,
mengembalikan demokrasi di Iran, dan membereskan
situasi di Terusan Panama (dan Amerika Serikat memang
membereskan kemelut Panama dengan kemudian menginvasi
Panama). Kermit Roosevelt sendiri menjadi legenda di
kalangan CIA, dan aksinya menjadi salah satu ’teladan’
dalam khazanah operasi intelijen.

Walaupun telah menjadi kaya-raya, bahkan telah mampu
membeli kapal pesiar di usia 35 tahun, JP
bertahun-tahun lamanya bergulat dengan kata hatinya.
Ia telah mampu mencapai kekayaan dan apa saja yang dia
inginkan, semua yang di masa kecilnya yang terkungkung
dan tertekan terlihat tak mungkin, namun itu semua
ternyata tak juga membuatnya bahagia. Ia pun tak pelak
menyamakan dirinya dengan Sir Francis Drake dan Sir
Henry Morgan yang merampok harta di berbagai penjuru
dunia atas nama Kerajaan Inggris, termasuk merampok
kapal-kapal Spanyol dalam perang agama antara Inggris
yang Protestan dan Spanyol yang Katolik, dan justru
diberikan hadiah besar dari Kerajaan Inggris Britania
Raya. Ia juga menyadari betapa ia tertipu oleh
dalihnya dalam menenteramkan hatinya di masa lalu
terhadap rasa bersalah, tentang betapa banyak idolanya
seperti Ethan Allen, Thomas Jefferson, George
Washington, Daniel Boone, Davy Crocket, Lewis and
Clark; yang telah mengeksploitasi orang Indian asli
Amerika Utara, budak, dan lahan yang bukan kepunyaan
mereka di masa hidupnya. Walaupun demikian, segala
kisah tentang penderitaan dan beban yang ditanggung
para pahlawannya ini dalam memperjuangkan aspirasi
mereka, juga tetap memperkuat dirinya untuk terus
mencari cara terbaik untuk keluar dari lingkaran setan
itu.

Dan semua pergulatan hati dan pikirannya ini berpuncak
pada tanggal 1 April 1980 saat ia mengundurkan diri
dari MAIN, walaupun dengan sangat ditentang oleh
atasannya yang tak menyangkanya. Atasannya bahkan pada
awalnya mengira bahwa itu adalah kejutan April Mop,
yaitu suatu kebiasaan orang Barat untuk membuat
lelucon di tanggal 1 April, dari JP. Sekeluarnya ia
dari MAIN, JP kemudian mendirikan perusahaan sendiri,
yaitu sebuah perusahaan konsultan energi bernama
”Independent Power System” (IPS) yang berteknologi
lebih akrab lingkungan. Kejayaan bisnis MAIN sendiri
di kemudian hari berakhir karena konflik internal para
petingginya, dan kemudian dijual ke perusahaan lain.
Bertahun-tahun kemudian, JP di dekade 1990-an juga
menjual IPS setelah menangguk keuntungan besar, karena
mendapatkan berbagai sukses besar bahkan dalam
proyek-proyek bisnis yang sulit yang menurutnya juga
dibantu oleh jaringan orang-orang berpengaruh dan
perusahaan yang pernah ia bantu di masa lalu. Lantas
ia pun pensiun, berjalan-jalan ke berbagai penjuru
dunia, menjadi penulis sejumlah buku populer tentang
lingkungan ekosistem dan kehidupan sehari-hari, serta
mendirikan organisasi pemerhati lingkungan ”Dream
Change Coalition” (oleh majalah TIME dipilih sebagai
salah satu di antara 13 organisasi lingkungan yang
paling sesuai dengan tema Earth Day). Ia juga menjadi
konsultan penasihat lepasan yang digaji sangat tinggi
untuk perusahaan Stone & Webster Engineering
Corporation (SWEC) tanpa harus banyak bekerja keras,
oleh tawaran kawan-kawannya dimasa lalu itu. Untuk
SWEC, ia hanya terkadang harus hadir dan memberikan
saran pada rapat-rapat sidang dengar pendapat tertentu
sebagai konsultan ahli, juga tentang beberapa proyek
yang bertentangan dengan pengetahuan dan hati
nuraninya akan sumber daya negergi yang tidak merusak
lingkungan (yang menurutnya adalah ’uang suap’ agar ia
tidak menuliskan segala pengalamannya itu, dan
membuatnya merasa seperti seorang pelacur).

Masih membutuhkan waktu lama untuk membuatnya mampu
menulis dengan gamblang segala hal itu, namun akhirnya
pada tahun 2004 buku ini dapat diterbitkan sebuah
perusahaan penerbit yang tak terkait jaringan
pihak-pihak yang disorotnya itu (setelah ditolak oleh
sejumlah penerbit lain yang bahkan sempat mengusulkan
agar JP menulisnya dalam bentuk semi-fiksi a la novel
agar tak membahayakan dirinya). Hal yang terutama
mendorongnya, adalah kesadarannya dalam melihat
putrinya Jessica beranjak dewasa memasuki masa
kuliahnya, dan serangan ”9/11 2001” oleh Al Qaidah
terhadap Amerika Serikat (satu hal yang menurut segala
pengetahuannya justru ”cukup wajar, dapat dimengerti
dan diterima mengapa para militan ’teroris’ pimpinan
Usamah bin Ladin itu menyerang Amerika Serikat”) serta
kunjungannya ke lokasi bekas menara kembar WTC yang
hancur luluh itu untuk kemudian secara tak sengaja
bercakap-cakap di sekitar lokasi itu dengan seorang
pengungsi Afghanistan yang mengalami langsung perang
Uni-Soviet dan Mujahiddin Afghanistan. Selain hal-hal
itu, motivasi JP juga didorong oleh kunjungannya ke
Ekuador kembali sebagai pemerhati lingkungan dan
penulis sejumlah buku tentang lingkungan, dan
menyaksikan betapa pembangunan di Ekuador yang didanai
dan diarahkan Amerika Serikat melalui perusahaan
minyaknya telah sangat mengancam kelangsungan hidup
penduduk asli dan sejumlah kekayaan flora dan fauna di
hutan tropis Amazon Ekuador. Ini semua sangat
mengkhawatirkannya dan mendorongnya menyelesaikan buku
ini, yang telah mulai ia tulis bertahun-tahun
sebelumnya namun tak kunjung berani ia terbitkan.

Di buku ini ia bahkan memaparkan dengan gamblang
cara-cara berdasarkan pemikirannya, bila seandainya
sejumlah negara OPEC dan kreditor Amerika Serikat
hendak membalikkan keadaan; misalnya dengan cara
menagih hutang Amerika Serikat yang jumlahnya
sangat-sangat besar itu, atau dengan kesepakatan untuk
tidak lagi menggunakan Dolar Amerika Serikat untuk
rangkaian perdagangan dunia. Bila seandainya juga,
para kreditor itu meminta pembayaran hutang Amerika
Serikat dalam Euro, maka Amerika Serikat akan berada
dalam masalah yang sangat-sangat besar. Sehubungan
ini, saya merasa negara-negara Eropa benar dalam
membentuk Euro, dan negara Asia Tenggara (termasuk
Indonesia) telah salah dalam menolak ajakan mantan
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad untuk
membentuk mata uang bersama beberapa tahun lalu.
Sayang sekali, saya selalu hormat kepada bapak
Mahathir Mohammad, yang negaranya keluar dari Krisis
Moneter Asia di bawah pimpinannya lebih cepat daripada
negara-negara tetangganya. Saya juga jadi ingat saat
hampir lima belas tahun lalu, ayah saya memberitahukan
saya tentang artikel di suatu majalah luar-negeri
(saya lupa, Time, Newsweek, atau apa), diprediksikan
bahwa satu saat tatanan masyarakat global akan menjadi
tiga kelompok besar, yaitu Amerika Serikat, Eropa, dan
Asia (yang dipimpin Cina, bukan Jepang); yang sekarang
terbukti.

Sehubungan dengan ini pula, ia tak lupa menyebutkan
ramalan yang ia dengar di berbagai suku bangsa, baik
di biara Himalaya, di situs upacara di Indonesia, di
suaka pribumi (Indian) di Amerika Utara, dari
kedalaman Amazon hingga ke puncak Andes dan ke kota
suku Maya di Amerika Tengah; yang kesemuanya berbicara
tentang hal serupa, walau judul dan pesan ramalan itu
berbeda sedikit satu dengan lainnya. Ramalan itu
menceritakan macam-macam hal tentang Jaman Batu, Awal
Matahari Kelima, akhir penanggalan lama dan awal
penanggalan baru, dan lain-lain; namun mempunyai
kesamaan cerita tentang bahwa dahulu kala dalam kabut
sejarah, umat manusia pada dasarnya terbagi dan
mengambil dua buah jalur yang berbeda: jalur Condor
(mewakili hati, bersifat intutitif dan mistis) dan
jalur Elang (mewakili otak, bersifat rsional dan
materiil). Ramalan itu mengatakan pada tahun 1490-an
(kedua jalur itu akan menyatu dan sang Elang akan
mendorong sang Condor ke ambang kepunahan. Sebagai
informasi tambahan dari saya untuk pembanding,
beberapa peristiwa besar dunia di dekade ini adalah
ditemukannya Amerika Serikat oleh Columbus pada tahun
1492 oleh ekspedisi atas restu Raja Ferdinand dan Ratu
Isabela dari Spanyol. Pada tahun yang sama, di tahun
1492 Masehi, adalah juga merupakan tahun puncak
terjadinya 'Masa Inkuisisi' pembantaian terhadap kaum
Muslim dan Yahudi, suatu pembersihan atas sisa-sisa
Kekhalifahan Bani Umayyah di Spanyol dan Portugal (dan
di Sicilia, Italia; pembersihan terhadap kaum Muslim
dan Yahudi di sana) yang di Spanyol dan Portugal ini
dipimpin juga oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela. Di
masa ini juga adalah masa-masa awal dari jaman
Rennaissance (kebangkitan kembali Eropa) menuju jaman
Modern, sesudah Eropa mengalami apa yang disebut
sebagai jaman Abad Kegelapan atau jaman Abad
Pertengahan.

Lalu lima ratus tahun kemudian, sekitar tahun 1990-an
menurut ramalan ini, suatu jaman baru akan dimulai,
dan sang Condor dan Elang akan mempunyai kesempatan
untuk bersatu kembali, terbang bersama-sama di langit
yang sama, mengarungi jalur yang sama. Jika sang
Condor dan Elang menerima kesempatan ini, mereka akan
menciptakan keturunan yang paling luar biasa, berbeda
dengan yang pernah dilihat sebelumnya. Apapun juga
kenyataan ramalan luar-biasa ini, ternyata saat ini
kita telah memasuki Milenium Ketiga di tahun 2006 ini.
Maka sadarkah kiranya anda, bahwa anda sedang hidup di
masa yang menarik dan penting, menilik ini semua?

Apapun juga, kembali tentang John Perkins, melihat
sosok JP, saya juga jadi teringat Douwwes Dekker alias
Multatuli, dan menyamakan JP dengannya. Masih ingatkah
anda akan Douwwes Dekker yang adalah orang Belanda
sahabat Ki Hadjar Dewantara dan berjuang bersama tokoh
pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia itu? Di lain
sisi, mau tidak mau, entah mengapa, di pikiran saya
juga terlintas Singapura, Lee Kuan Yew, Lee Hsien
Loong, dan perusahaan Temasek Holdingnya. Lalu
Australia yang senang sekali berdekatan dan seiya
sekata dengan Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris
Britania Raya (yang jelas adalah leluhur mereka). Juga
Mantan Presiden Soeharto dan bisnis keluarga
Cendananya serta kroninya, para pembantu dan
menterinya, termasuk para konglomerat yang besar di
masa Orde Baru seperti Liem Sioe Liong dengan Salim
Group, Indomobil, BCA, Indofood; juga Eka Tjipta
Wijaya dengan Sinar Mas Group, Tjiwi Kimia, BII, Eka
Lifenya, lalu dahulu Edward Soerjadjaja dengan
Astranya, dan Bob Hasan yang dikenal cukup dekat
dengan keluarga Cendana itu. Lalu ada bayangan mantan
Presiden Megawati Seokarnoputri dan suaminya yang
sangat terkenal itu yang ternyata dekat dengan
sejumlah pengusaha seperti (kata sejumlah media) Tommy
Winata, bapak Taufik Kiemas (saya juga jadi ingat
kawan saya yang lama tak bertemu, seorang musisi hebat
petinggi Band Dewa 19 yang saya dengar dari kawan kami
lain sekarang sedang dekat dengan Tommy Winata, …
hendak ke mana TW dan dia ya? Hahahaaa ... sori, D).
Apakah kemudian, di Indonesia hal seperti ini akan
berlanjut ke jaringan bisnis Wakil Presiden Jusuf
Kalla dan keluarganya? Bukaka Teknik? Medco Energy?
Bakrie? Atau anak-anak dan keluarga Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, Presiden yang saya sangat hormati,
menantu tokoh penting Orde Lama Jenderal RPKAD Sarwo
Edhie Wibowo; dan yang akhirnya saya pilih dalam
Pemilu lalu sesudah Amien Rais-Siswono Yudohusodo
kalah?

Ke mana arah Nusantara Indonesia di masa depan?

Saya tidak tahu, tetapi ke manapun juga nanti, rasio
pendapatan seperlima penduduk dunia di negara-negara
terkaya terhadap pendapatan seperlima penduduk di
negara-negara termiskin dunia meningkat dari 30
berbanding 1 pada tahun 1960, menjadi 74 berbanding 1
pada tahun 1995. Dan Bank Dunia, USAID, IMF, dan
bank-bank lainnya, korporasi-korporasi dan
pemerintah-pemerint
ah yang terlibat di dalam “bantuan”
internasional, terus menceritakan kepada kita bahwa
mereka sedang melakukan pekerjaan mereka, bahwa
kemajuan telah dicapai. Sungguh malang nasib Indonesia
(dan negara-negara berkembang lain terutama penghasil
minyak bumi dan gas alam) mendapatkan ‘bantuan’
pinjaman yang di ‘mark-up’ sehingga berbunga yang
bahkan tak mungkin dibayar sampai ke anak-cucu, dan
masih pula ditambah dengan korupsi besar-besaran yang
biasanya dilakukan orang Indonesia sendiri. Sungguh,
‘Teori Menetes’ yang pernah saya baca di berbagi buku
ekonomi makro tentang ‘maksud baik’ Orde Baru untuk
membiarkan para pemimpin dunia usaha (baca:
konglomerat, pengusaha swasta umum, Badan Usaha Milik
Negara, dan lain-lain; laksana Chaebol di Korea
Selatan yang didukung pemerintahnya, namun dengan
disiplin lebih rendah di Indonesia) menjadi lokomotif
ekonomi dan menarik gerbong panjang berisi rakyat
Indonesia, benar-benar hanya meneteskan sangat sedikit
saja hasil keuntungan mereka untuk masyarakat banyak,
setelah dikurangi berbagai hal, atau investasi lain di
usaha-usaha lain berdasarkan segala optimisme
prediksi.

Jatah rakyat itu yang dapat sangat berguna untuk
berbagai layanan kesehatan, pendidikan, fasilitas
umum, tunjangan sosial, dan sebagainya; sudah sangat
dikurangi (resmi atau tidak) kata banyak kalangan oleh
dan untuk jatah para oknum pejabat, pegawai negeri,
petugas pajak, petugas administrasi, petugas hukum,
polisi, tentara, dan sebagainya. Tapi bukankah kita
tidak dapat menyalahkan mereka sepenuhnya, para
pegawai negeri dan aparat negara ini? Mereka, katanya,
seharusnya, adalah orang-orang terpandang yang masih
percaya cerita warisan budaya kolonial penjajah
Belanda tentang jaminan kesejahteraan pegawai negeri
'ambtenaar’ yang karena jatah pendapatan mereka yang
resmi ternyata sangat ajaib kecilnya di masa
kemerdekaan guna memenuhi cita-cita akan negara sosial
Indonesia; tidak diimbangi dengan tangkalan terhadap
arus iming-iming kemewahan global dunia dan penyediaan
fasilitas umum yang baik; maka ‘terpaksalah’ mencari
penghasilan tambahan. Orang Indonesia ini
pintar-pintar bukan? Bagaimana pendapat anda? Sigmund
Freud dengan sederet teori psikoanalisanya akan
setuju. Hahahahahaaaa …!

Satu contoh (serius, bukan sindiran seperti di atas),
adalah peraturan pemerintah tentang kepemilikan mobil
(apalagi mobil mewah) yang dipersulit dengan tambahan
pajak pembelian yang sangat tinggi (banyak kalangan
yang tahu berkata, pajak mobil Indonesia termasuk
tertinggi di dunia) di masa Orde Baru guna memenuhi
cita-cita akan negara sosial dengan prinsip
pemerataannya, selain tentunya untuk pemasukan negara.
Maksud cukup mulia yang antara lain berguna untuk
meminimalkan perbedaan kaya-miskin ini, ternyata tidak
dibarengi penyediaan fasilitas transportasi umum yang
memadai, sehingga mau-tidak mau rakyat yang tentulah
menginginkan sesuatu yang lebih baik untuk
transportasi sehari-hari (mobil pribadi misalnya),
apalagi di wilayah tropis seperti ini; berusaha
memenuhinya. Karena prinsip ekonomi ‘ada kebutuhan ada
pasokan’, dicarilah berbagai cara untuk memenuhi
segala penunjang hedonisme ini, dan di kemudian hari
lahirlah berbagai paket kredit kepemilikan mobil yang
juga diceritakan menghasilkan banyak kolusi,
manipulasi, dan sebagainya; selain menghasilkan jumlah
mobil yang membengkak terutama di perkotaan yang lalu
mengakibatkan kemacetan lalu-lintas karena (di antara
berbagai faktor lain) agaknya prediksi pertumbuhan
ekonomi dan segala kaitannya (termasuk penyediaan
jalan) oleh pemerintah itu (yang dibantu para
konsultan seperti para EHM itu), tidak realistis.
Akhirnya, di rangkaian Chain-Reaction lingkaran setan
ini, pemerintah dan rakyat, kita semua jugalah yang
‘kerepotan’. Dan di dalam teori bisnis, ternyata bila
suatu sistem sudah kacau, salah satu caranya adalah
melakukan re-rengineering (perombakan dasar, yang
populer sebagai BPR, Business Process Re-engineering
atau CPR, Core Process Re-engineering) dan agaknya
yang telah dialami Indonesia adalah dengan cara
Reformasi ini. Entah, sampai seeektif dan seefisien
mana proses Reformasi ini akan bergulir kiranya.

Melanjutkan perbandingan-
perbandingan di atas, maka
seingat saya:
• perusahaan beraset di atas 5 milyar dolar di dunia
sekitar 8000 perusahaan dimiliki Amerika Serikat,
Inggris sekitar 3000 perusahaan, Jerman sekitar 800
perusahaan, dan Jepang sekitar 400 perusahaan.
• Michael Moore menulis, sejak merger empat perusahaan
minyak paling top Amerika Serikat selama masa yang
dikenal sebagai ’krisis energi’, keuntungan mereka
telah membumbung menjadi 146%. Dari tahun 1979 sampai
awal Milenium Ketiga, golongan terkaya sebanyak 1% di
Amerika Serikat telah mendapatkan rata-rata kenaikan
gaji sebanyak 157%. Dua ratus perusahaan terkaya
dunia, mendapatkan rata-rata kenaikan keutungan 362,4%
sejak 1983, dan gabungan hasil penjualan mereka adalah
lebih tinggi daripada gabungan kekayaan Gross Domestic
Product (GDP) seluruh negara dunia, kecuali sepuluh
negara terkaya di antara mereka. Aset ‘House of Saud’,
’Saudi Royal Family’, Keluarga Kerajaan Arab Saudi,
sekitar 600-800 miliar dolar yang ditanamkan di
Amerika Serikat dan ini tidak sampai 10% dari total
perekonomian dan aset di Amerika Serikat.
• Di luar tengara Michael Moore ini, setahu saya,
kekayaan Bill Gates, boss Microsoft, kalau tidak salah
lebih dari 70 miliar dolar dan Microsoft sendiri
beraset sekitar 500 miliar dolar.
• Bila anda menyaksikan channel Discovery Travel &
Living, salah satu acaranya adalah menyajikan liputan
rumah-rumah mewah, dan di Amerika Serikat lalu Eropa
banyak sekali rumah berharga di atas 100 juta dolar,
apalagi berharga di atas 10 juta dolar.
• Lalu, satu buah rudal Tomahawk dan sejenisnya
sebagai salahsatu perlengkapan tempur standar pesawat
perang Amerika Serikat, adalah sekitar 800.000 dolar.
• Dan apakah anda tahu satu buah pesawat perang
terbaru dan tercanggih Amerika Serikat, F-22 Raptor,
berharga lebih dari 280 juta dolar Amerika?

Masih mengenai Amerika Serikat, Michael Moore di buku
‘Stupid White Men’ juga telah menyebutkan beberapa hal
ini, bahwa Amerika Serikat:
• Teratas dalam jumlah miliarder dan jutawan.
• Teratas dalam anggaran militer
• Teratas dalam konsumsi minyak bumi
• Teratas dalam konsumsi gas alam
• Teratas dalam penggunaan energi per kapita (tiap
orangnya)
• Teratas dalam produksi daging sapi
• Teratas dalam konsumsi kalori sehari-hari
• Teratas dalam produksi sampah per kapita
• Teratas dalam produksi emisi karbon dioksida (gas
buang), lebih dari gabungan produksi emisi karbon
dioksida Australia, Brazil, Canada, Perancis, India,
Indonesia, Jerman, Italia, Mexico, dan Kerajaan
Inggris Britania Raya).
• Teratas dalam produksi limbah berbahaya (dua puluh
kali lipat negara kedua tertinggi, pesaing
terdekatnya, Jerman)
• Teratas dalam terkecilnya penggalangan pajak per GDP
• Teratas dalam terkecilnya pengeluaran pemerintah per
GDP
• Teratas dalam sedikitnya rakyat jumlah pemilih yang
berpartisipasi dalam Pemilu
• Teratas dalam sedikitnya partai politik yang
diwakili di dewan perwakilan rakyatnya
• Teratas dalam kematian rakyat akibat senjata api
• Teratas dalam kecenderungan akan anak berusia di
bawah lima belas tahun yang meninggal dilukai akibat
senjata api
• Teratas dalam kecenderungan anak berusia di bawah
lima belas tahun yang bunuh diri menggunakan senjata
api
• Teratas dalam nilai prestasi setingkat SMP terendah
• Teratas dalam menjadi negara pertama yang memiliki
anak-anak sebagai anggota termiskin masyarakat
• Teratas dalam perkosaan yang direkam (hampir tiga
kali lipat ppesaing terdekatnya, Kanada)
• Teratas dalam luka, cacat, dan kematian akibat
kecelakaan lalu-lintas (hampir dua kali lipat pesaing
terdekatnya, Kanada)
• Teratas dalam kelahiran bayi dari ibu di bawah usia
dua puluh tahun (lebih dari dua kali lipat Kanada, dan
hampir dua kali lipatnya New Zealand)
• Teratas dalam jumlah perjanjian hak azasi manusia
internasional yang tidak ditandatangani (diakui,
diikuti)
• Teratas di antara beberapa negara anggota PBB, yang
tidak meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak
• Teratas sebagai negara yang tak menandatangani Kyoto
Protocol tentang lingkungan
• Sejak tahun 1998 sampai 2002, empatpuluh empat dari
delapan puluh dua perusahaan paling top di Amerika
Serikat tidak membayar pajak standar 35%, dan 17% dari
mereka samasekali tidak membayar pajak. Dan 1279
perusahaan lain dengan aset sekitar 250 juta dolar
juga tidak membayar pajak karena melaporkan bahwa
tidak ada pemasukan, pada tahun 1995.

Saya bukan anti Amerika Serikat, saya masih menikmati
banyak teknologi dan budaya pop Amerika, dan agama
saya, Islam, tidak mengajarkan diskriminasi rasial,
agama, dan sebagainya; apalagi untuk dilakukan secara
ofensif dan aktif (hanya pasif, dalam kerangka jihad
sebagai betuk bela-diri, bukan untuk serangan
mendahului). Tapi tak pelak segala fakta dan spekulasi
ini membuat saya berpikir banyak tentang berbagai
bayangan indah, terutama di masa kecil dulu, tentang
Amerika Serikat, bahkan orang kulit putih. Dulu semasa
kecil, Inggris dan Amerika Serikat, adalah negara
pahlawan saya, dan saya memimpikan dan mengidentikkan
diri saya sebagai ’anak Inggris’ atau ’anak Amerika’.
Saya dari dulu sampai sekarang adalah penggemar
Spider-Man dan Superman. Saya pembaca berulangkali
seri Tintin, Asterix, Tanguy & Laverdure, Little
House, Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan sebagainya dan
termasuk buku cerita best-seller sekarang, Harry
Potter yang membius dan menakjubkan itu; selain
berbagai buku produk Amerika dan negara-negara maju
lain itu. Saya juga penggemar masakan dan ahli memasak
masakan Barat (walau tentu saja sebagai Muslim, saya
tidak pernah menambahkan Anggur dan sejenisnya serta
Babi ke masakan saya, serta memasaknya hingga matang
hingga kering darahnya, tiga hal yang sering ada dalam
seni Kuliner a la Barat dan tak sesuai dengan agama
saya). Saya mampu berbicara Bahasa Inggris fasih dalam
logat British, dan saya dapat mengubahnya menjadi
logat Scottish atau bahkan Irish, satu hal yang
dikagumi oleh bahkan kenalan berbangsa Inggris saya.
Saya hafal banyak kisah hidup orang besar Barat dan
sejarah Barat mungkin lebih daripada sejarah bangsa
sendiri. Saya bahkan dulu turut memusuhi tanpa
berpikir panjang siapa saja yang mereka musuhi seperti
ditunjukkan dalam film-film Hollywood, dan kemenangan
Amerika tentu adalah kemenangan saya juga.

Namun sekarang saya benar-benar berhati-hati dalam
menilai segala sesuatu. Sekarang, bayangan
identifikasi diri saya menjadi anak ’Inggris atau
Amerika’ itu menjadi meredup, dan saya telah cukup
lama mulai menggali ke-asia-an saya, terutama
ke-indonesia-
an saya, bahkan dalam arus kencang
Globalisasi. Dan saya masih cukup bangga menjadi orang
Nusantara Indonesia, ini sudah takdir saya, walau
sebagian hati saya juga mengagumi saudara kita
Malaysia yang gemilang itu. Malaysia, negeri yang dulu
belajar dari kita bahkan masih mengirimkan mahasiswa
belajar kedokteran ke Universitas Airlangga sampai
sekarang di tahun 2006, namun telah keluar dari Krisis
Moneter dengan lebih cepat; sementara kita masih
dininabobokkan gurindam, legenda, dongeng, langgam,
dan seterusnya tentang ’negeri Nusantara yang subur,
kaya, dan makmur’ dan menganggap semua sudah dan akan
beres dengan sendirinya karena ’Tuhan menyayangi kita,
bukan?’.

Tak pelak lagi tentang Amerika Serikat, saya juga
teringat film, buku, bahasan, studi, dan banyak hal
lain; tentang pembunuhan terhadap Presiden John
Fitzgerald Kennedy (JFK); dan Film ”JFK” yang
dibintangi Kevin Costner adalah salah satu film tak
terlupakan yang mengasyikkan saya. Begitu banyak
presiden Amerika Serikat dibunuh selama berabad-abad
(seingat saya sekitar lima orang), namun pembunuhan
terhadap JFK ini adalah yang paling menarik bagi saya,
selain penembakan terhadap Presiden Amerika Serikat
Abraham Lincoln ratusan tahun lalu. Pembunuhan
terhadap JFK ini menarik, karena dilakukan di Abad
keduapuluh. Menarik, karena JFK ditengarai punya latar
belakang hubungan dengan pengusaha, artis Hollywod
(termasuk Marylin Monore), dan bahkan mafia. Menarik,
karena dilakukan saat JFK memutuskan hendak berdamai
dengan Uni Soviet sesudah krisis Teluk Babi di dekat
Kuba yang melibatkan Amerika Serikat, Kuba, dan Uni
Soviet. Menarik, karena dilakukan saat JFK memutuskan
hendak menarik tentara Amerika Serikat dari Vietnam,
dan menurut berbagai spekulasi akan membuat banyak
perusahaan produsen senjata Amerika Serikat menjadi
bangkrut karena berbagai senjata yang sedang dan telah
diproduksi akan menjadi barang rongsokan tak terbeli.
Menarik, terutama tentang pengungkapan cara kerja
Dinas Rahasianya melalui pengakuan seorang mantan agen
(di film, diperankan Donald Sutherland), termasuk
peran mereka di Indonesia. Menarik, karena saudaranya
yang Jaksa Agung Amerika Serikat di waktu itu, Jack
Kennedy, juga kemudian dibunuh, ditembak, saat menjadi
calon kuat Presiden berikutnya. Menarik, karena baru
saya sadari bahwa anaknya yang tampan, pintar,
populer, terhormat, bahkan calon kuat Senator, John
John Kennedy Junior, meninggal dunia dalam pesawat
terbangnya yang jatuh berpuluh-puluh tahun kemudian;
dan ini membuat saya berpikir tentang berbagai
spekulasi mengingat apa yang disebutkan John Perkins
tentang cara kerja para ’serigala’ dalam melenyapkan
musuh sebagaimana jatuhnya helikopter Presiden Roldos
dan Torrijos. Menarik, karena saya menduga-duga apa
yang akan terjadi terhadap bintang film laga
Hollywood, Arnold Schwarzeneger, yang sekarang menjadi
Gubernur California dan hendak berancang-ancang
mencalonkan diri menjadi Presiden; yang adalah suami
Maria Shiver, anggota keluarga ’clan’ Kennedy.

Lalu tentang Presiden lain, Senin 25 April 2006
(tulisan ini saya tulis selama beberapa hari, di
antara berbagai kesibukan lain) saya tak sengaja
menyaksikan liputan TV tentang akad nikah anak Bambang
Trihatmojo, dan menyaksikan mantan Presiden Soeharto
datang tanpa duduk di kursi roda seperti di
tahun-tahun lalu sesudah ia ’lengser keprabon’, ke
acara akad nikah cucunya itu. Pak Harto, sang Bapak
Pembangunan Orde Baru, terlihat sehat dan segar-bugar
berseri-seri, sangat sehat untuk orang seusia beliau
yang telah mengalami stroke, membuat saya sejenak
bernostalgia saat saya dulu semasa kecil duduk di
depan TV menyaksikan siaran TVRI tentang berbagai
keajaiban pembangunan ekonomi Republik Indonesia di
masa Orde Baru dengan rangaian tahapan Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) negara tercinta ini. Saya
turut berbahagia melihat pak Harto saat itu, sungguh,
sejujur-jujurnya, saat menyaksikan betapa Tuhan
memberikan karunia umur panjang kepada seorang tua
yang cukup tampan. Saya juga dari dulu menyadari
betapa tampannya kedua mantan Presiden kita, Sukarno
dan Soeharto, dan betapa pengaruh besar mereka
terhadap berbagai kemajuan yang kita sempat dan masih
nikmati.

Namun sisi lain diri saya, tak dapat berhenti untuk
terus memikirkan apa yang telah terjadi selama
beberapa puluh tahun terakhir di Indonesia tentang
Permesta, PRRI, DI/TII, Gerakan Non-Blok, Demokrasi
Terpimpin, Trikora dan Dwikora, G 30 S PKI, Pelita,
Demokrasi Pancasila, NKK-BKK, P4, BAKIN dan intelijen
negara, Pemilu dengan hanya tiga partai, DPR, MPR,
Bappenas, deregulasi, Pakto-Paknov (Paket Oktober dan
Paket Novembernya Radius Prawiro), ’keterbukaan’ Orde
Baru, manipulasi, korupsi, kolusi, para konglomerat,
para Jenderal, para pejabat negara, para dukun,
adat-istiadat, takhayul, dinamisme, animisme, aktivis
mahasiswa yang hilang; lalu Krisis Moneter, likuidasi,
pengangguran, kemiskinan, fasilitas layanan umum,
kekurangan pendidikan, dan sekolah-sekolah negeri yang
terpencil dan seperti kandang sapi. Kemudian tentang
berubahnya budaya bangsa dengan segala sisi
baik-buruknya, para pemimpin kita, politik dan politik
dagang-sapi, narkoba, pornografi yang meningkat,
layanan seksual, ”Wanita Tuna Susila’ (WTS) yang
berganti nama menjadi ’Pekerja Seks Komersial’ (PSK,
jadi seharusnya mereka ini berhak masuk Asosiasi
Serikat Pekerja Indonesia, ASPEK Indonesia, termasuk
mungkin menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia,
bukan?), hutan gundul, kebakaran hutan, konglomerat
yang kabur atau bunuh diri, kebodohan masyarakat,
konflik dan genocide antar suku-bangsa dan umat
beragama, pembunuhan-pembunuh
an akibat kemiskinan,
bom, berbagai demo, banjir di Jakarta dan bahkan
Airport Soekarno-Hatta, dan bencana alam. Kemudian
Sampoerna dengan segala iklan sindirannya, Jama’ah
Islamiyyah, sekolah-sekolah bisnis, Bank Indonesia,
BPPN, divestasi, Freeport, Chevron-Caltex, UMR,
partai-partai, DPR, KPU, KPK, dan lain-lain. Juga
Soekarno-Hatta, Soeharto, Marsinah, Soe Hok Gie,
Baharuddin Lopa, Munir, Tommy Soeharto yang berada di
penjara, Ricardo Gelael yang bebas dari penjara,
Soedomo, L.B. Moerdani, Frans Seda, Soemitro
Djojohadikusumo dan ’Mafia Berkeley’nya,
Widjojonitisastro, Dorodjatun Kuntjorojakti, Radius
Prawiro, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Fu’ad
Bawazier, Peter F. Gontha, Edi Tanzil, Prabowo
Subianto, Wiranto, Agum Gumelar, Sudrajat Djiwandono,
Laksamana Soekardi, Taufik Kiemas, Tommy Winata,
Gubernur DKI Sutiyoso, BJ. Habibie, ’Gus Dur’
Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Amien
Rais-Siswono, Kwik Kian Gie, Todung Mulya Lubis, Jaksa
Agung Adurrahman Saleh, Kapolri Sutanto, SBY-JK. Dan
terakhir kembali ke terutama mengenai tulisan John
Perkins dan Michael Moore, serta apapun fakta lain
yang belum terungkap di balik hubungan semua hal itu.

Sebagai tambahan, kawan saya seorang lulusan MM UI,
punya kawan yang dulu bekerja di BPPN. Menurut
penuturannya, kawannya ini terus-terang mengaku
kepadanya bahwa sejak bergabung dengan BPPN, ia
’kebanyakan duit’ tiap bulannya, dan bingung ’duitnya
mau diapain bahkan sesudah membeli beberapa mobil dan
rumah’. Begitu banyak pihak berkepentingan dengan BPPN
yang membuatnya ’kebanyakan duit’, menurutnya. Kawan
saya sendiri, karena mengaku bahwa ia bersifat jujur
dan mau mengabdi untuk negara saat wawancara kerja
dengan BPPN agaknya (inilah sifat kawan saya yang
menjaga agama dan jujur), kemudian tidak diterima
bekerja di sana. Dan pada lain pembicaraan menurut
pendapatnya, di Indonesia, banyak sekali orang yang
bersedia disuap, termasuk oleh kepentingan asing. Saya
sendiri setuju, wong lha kita ini maunya
kebarat-baratan memang, bahkan mungkin lebih
kebarat-baratan daripada orang barat sendiri
bisa-bisa, sudah lupa terhadap semboyan ’berdikari’
(berdiri di atas kaki sendiri) Sukarno dan berbagai
sejarah dunia. Generasi yang bingung dan menyedihkan,
’orang pinter malah miskin di jaman edan’, seperti
ramalan Joyoboyo, sudah benar terjadi. Dan, orang
masih bertanya, mengapa semakin banyak terjadi bencana
alam di negeri ini.

Saya menjadi takut, sedih, dan sedikit marah, lalu.
Sedikit terbersit harapan akan benarnya tengara
tentang Global Paradoxnya John Naisbitt bahwa saat
arus Globalisasi membuat hampir seluruh pelosok dunia
menjadi sama, justru bagian2 terkecil dunia tak
bersedia disamaratakan dan mulai mencari faktor-faktor
pembeda mereka guna mengejawantahkan keberadaan
mereka. Dan tentu saja, sesuai juga dengan tengara
konsep Global Paradox ini, untuk membuat satu sistem
besar yang kuat, bagian-bagian terkecilnya harus juga
kuat; karena masing-masing memiliki tugas dan fungsi
yang memang berbeda-beda dan saling menguatkan. Semoga
memang benar adanya, seperti yang pernah saya tulis di
sebuah tabloid manajemen lokal bertahun-tahun lalu,
bahwa semoga saat ini Asia, khususnya Indonesia;
sedang menemukan caranya (kembali, sekali lagi),
daripada notabene mengikuti cara-cara Barat.

Sehubungan dengan ini, menurut filsuf Friedrich
Nietzsche di tahun 1880-an, kebudayaan Barat berada di
ambang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio
(akal). Ia sangat kritis terhadap cita-cita modernisme
yang sangat berkuasa di Eropa waktu itu. Dan
kepercayaan umum akan kemajuan yang terjadi, sudah
dilecehkannya sejak akhir abad XIX. Ia mengkritik
hampir semua relung-relung Barat (termasuk agama-agama
Barat), namun pada waktu itu orang mentertawakannya,
bahkan dikira orang banyak sebagai orang gila. Penulis
sekaliber Bertrand Russel saja bahkan pada sekitar
tahun 1945 pun menyatakan bahwa ia tidak
menyenanginya, dan berharap filsafat (post-modern)
Nietzsche akan hilang lama-kelamaan; suatu hal yang
ternyata justru terjadi sebaliknya di kemudian hari.
Walaupun Nietzsche juga terkenal dengan klaimnya bahwa
Tuhan itu tidak ada, «Tuhan sudah mati », hanya
bayangan atau imajinasi menurutnya dalam sebuah
tulisannya, namun pemikirannya tentang keadaan dunia
boleh jadi adalah salah satu inspirasi besar yang
turut mewarnai perkembangan dan perbaikan dunia.

Dan sekitar satu abad kemudian pada tahun 1990-an,
Filsuf Fritjop Capra juga menyatakan hal yang sama
tentang kritik terhadap arah pembangunan peradaban
dunia. Capra bahkan telah menulis buku “The Tao of
Physics” yang menggegerkan dunia Fisika, karena
memperlihatkan hubungan antara revolusi sipritual dan
fisika. Selain itu ia juga menulis buku penting “The
Turning Point: Science, Society, and The Rising
Culture” tentang krisis global serius pada awal dua
dasa warsa akhir abad XX dalam aspek kehidupan
kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan
hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan
politik. Capra, melihat bahwa penyebab semua kekacauan
itu karena tidak digunakannya paradigma utuh dalam
merekayasa budaya. Ia secara khusus menuding bahwa
Cartesian (paham warisan Descartes) dan Newtonlah yang
bertanggungjawab memunculkan paradigma tunggal bahwa
paradigma sains selain digunakan dalam pengembangan
budaya sains, dipaksakan digunakan juga dalam
pengembangan budaya seni dan etika (yang seharusnya
mendapatkan paradigma, perhatian, pembangunan dan
pengimplementasian berbeda, menurut Capra). Sementara
itu, filsuf lain, Kuhn, pada tahun 1970-an juga
menyatakan bahwa manusia telah salah dalam menjalanai
kehidupannya, dan mulai merindukan spiritualisme yang
hilang dari kehidupannya. Di Indonesia, Herma Suwardi,
guru besar Filsafat Universitas Padjajaran bandung
menyatakan dengan geram tentang kekurangan filsafat
ilmu yang digunakan Barat, yaitu paradigma sains
warisan Descartes dan Newton. Dan Soedjatmoko ‘Koko’,
seorang pemikir dan filsuf Indonesia lain, menyatakan
pada tahun 1980-an bahwa ilmu dan teknologi berhadapan
dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus
ditempuh selanjutnya, berkisar tentang masalah
ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan ilmu dan
teknologi.

Para pendukung Akal memiliki ‘lawan’ sepadan, yaitu
para pendukung Hati (rasa); dan mereka cenderung
saling bertentangan sejak awal jaman peradaban manusia
(sesuai dengan khazanah wawasan Barat, karena ilmu
pengetahuan dan budaya sekarang tak lepas dari
sudut-pandang Barat sebagai pihak yang sedang
menguasai ilmu-pengetahuan dan teknologi paling maju
secara umum dan rata-rata). Kesemua masayrakat Barat
namun, cenderung tetap mendewakan rasio secara
berlebihan sesudah masa Modern. Akal sendiri dianggap
mengalami ‘kekalahan’ di masa kira-kira sejak tahun
200 sampai 1600-an Masehi oleh Hati (rasa, agama) di
Barat, saat Eropa di kungkung berbagai hal negatif di
masa Abad Pertengahan (disebut juga Abad Kegelapan).
Akal sendiri diwakili Filsafat, dan hati diakili
Agama, paling tidak menurut kacamata Barat.

Lalu, dengan didahului Rennaissance dan berlanjut ke
Masa Modern, peradaban dunia pun menjadi berubah. Dan
manusia modern yang mewarisi sikap positivistik
Rasionalisme ini cenderung pula menolak keterkaitan
antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia,
dan bahkan hari akhirat. Ini tentu berpengaruh kepada
penafsirannya ke dalam (manajemen) pengaturan
kehidupan sehari-hari, dan ini semua juga mengawali
apa yang di kemudian hari dalam struktur masyarakat
(sosial) dan budaya serta tatanan ekonomi bahkan
politik dan hukum; disebut sebagai Sekulerisme yang
meminggirkan agama, menafikan agama, dan membuatnya
tidak boleh mengurusi urusan duniawi, dianggap hanya
sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhan saja dan
mengurusi urusan ‘tidak tampak’, agama adalah untuk
masalah akhirat saja. Dan secara langsung atau tidak,
ini semua juga di kemudian hari menyebabkan apa yang
dikenal sebagai Kapitalisme, juga Sosialisme (a la
Barat, bukan a la Timur), Marxisme, Komunisme,
Agnostisme, bahkan Atheisme, sebagai konsekuensinya;
dan pada gilirannya kemudian, lebih menyebar dari
Barat dengan segala sisi baik-buruknya melalui
Globalisasi yang kita kenal sekarang, bertempur dan
juga bercampur dengan segala paham lain yang dikenal
manusia, termasuk agama-agama. Khusus mengenai
Agostisme, dianggap beberapa kalangan adalah merupakan
‘saudara agama Kristen dengan tafsir berbeda’, bukan
merupakan peminggiran agama (namun memang ya, jika
kita menganggap bahwa agama hanyalah Katolik atau
Kristen Protestan saja) terutama didasarkan pada
fakta-fakta yang terungkap dari penemuan menghebohkan
akan naskah Bible kuno di gua di pegunungan laut Merah
pada tahun 1945. Sosialisme adalah reaksi atas
Kapitalisme, dan Marxisme, Komunisme, bahkan Atheisme;
adalah reaksi langsung dan tidak langsung dari para
pendukung akal yang ‘muak’ akan agama yang dikenal
Barat saat itu.

Omong-omong, apakah agama itu sebenarnya? Agama, yang
menurut khazanah Barat sering disebut sebagai perkara
yang tak jauh dari masalah hati atau rasa; cukup
berlainan dengan tafsiran cara hidup peradaban di
Timur, yang adalah merupakan kesatuan akal dan hati,
lebih tepatnya, indera-akal-
hati (dan agaknya di Timur
ada juga yang diwarnai kecenderungan untuk lebih
menggali potensi hati daripada akal saja termasuk
hal-hal di luar itu semua yang bersifat tak diketahui
manusia atau ghaib dan mistisme); yang kesemuanya
berujung kepada bentuk praktek, budaya dan peradaban
masing-masing. Maka secara ironis, di timur kedudukan
akal tak harus berbenturan dengan hati (dan indera).
Lebih jauh pula terutama di jaman dahulu kala, dunia
timur tak banyak yang merasa perlu untuk benar-benar
memisahkan antara telaah akal, hati, dan indera. Di
Timur, kaum cerdik-pandai ilmuwan dan Filsuf,
sekaligus dapat menjadi agamawan bahkan Mistikus,
tanpa harus pusing memilahkannya; seperti pada Ibnu
Sina (di Barat dikenal sebagai Avecinna), Al Ghazali
(Alghazel), Al Kindi (Alkindus), Al Razi (Rhazes), dan
Al Khawarizmi (Algoritmus atau Algoritma) misalnya;
untuk menyebut sedikit nama di antara banyak sekali
nama besar dari Timur. Dan Timur telah sangat banyak
menyumbangkan banyak hal ke peradaban dunia, terutama
melalui buku-buku mereka yang diterjemahkan ke bahasa
Latin dan mendorong Rennaissance, dan kemudian
termasuk pula berpengaruh dalam Globalisasi.

Maka, sadarkah kita, bahwa kita sedang hidup di masa
yang menarik dan penting?

Dan omong-omong juga, sadarkah kita bahwa belum pernah
ada agama lahir di barat?

But it’s all in the game …

So help me God, insya Allah.

Aamiiiin.

Jakarta, 2 Mei 2006.

Salam. – R. Alexander Machicky Mayestino T. Soendoro
St Bagindo Malano. (Kiky)

No comments: